Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)
Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)

Demokrasi dengan suara terbanyak tidak mengandung cita-cita kebudayaan. Dalam demokrasi seperti itu, suara mayoritas yang menetukan apa yang benar, bukan ketentuan kebaikan dan keadilan
(Sutatmo Suryokusumo)

Kebudayaan Indonesia terancam oleh individualisme, egoisme dan materialisme Barat. Tanpa menumbuhkan nilai-nilai kebudayaan, niscayalah kita hanya akan mendapat pergerakan borjuis, yang hanya akan memberi kenikmatan borjuis,
yakni orang-orang kaum atasan dan pertengahan,
sedangkan rakyat akan terus hidup sengsara
(Ki Hadjar Dewantoro)

Bagi orang Indonesia, kebahagiaan sosial merupakan pencapaian harmoni
antara individu dan kelompok, antara kelompok dan kosmos. Seluruh kehidupan kita tersusun dari perjuangan terus-menerus menuju tujuan akhir ini hingga kita dapat benar-benar mencapai keseimbangan sosial yang sempurna
(Soepomo)

Demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari rakyat itu
(Soekarno)

Jadinya, kita tiada membuang apa yang baik pada asas-asas lama, tidak mengganti demokrasi asli Indonesia dengan barang impor. Demokrasi asli itu kita hidupkan kembali, akan tetapi tidak pada tempat yang kuno, melainkan pada tingkat yang lebih tinggi, menurut kehendak pergaulan hidup sekarang
(Mohammad Hatta)

Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas patahan-patahan lempengan konstitusional yang belum mencapai titik keseimbangan. Politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik sebagai etik dan estetik mengalami kemunduran. Perkembangan demokrasi sebagai prosedur mengalami perubahan cepat dan massif, tapi demokrasi sebagai substansi seakan jalan ditempat.

Politik sebagai dimensi manusia secara keseluruhan memerlurkan tautan harmonis antara individu dan masyarakat (mikro-kosmos dan makro-kosmos). Untuk pertautan itu, jembatan penghubungnya adalah etika dan estetika. Etika dan estetika membantu manusia untuk menentukan pilihan yang tepat dalam perkembangan abadi menuju kebaikan, kebenaran, keadilan, dan keindahan dalam kehidupan bersama.  Oleh karena itu, politik yang baik dengan sendirinya harus merupakan politik yang berkebudayaan.

Setelah lima belas tahun gerakan reformasi digulirkan, pelbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi dan prosedur-prosedur politik Indonesia telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif bebas dan berkala (meski di sana sini masih ada masalah menyangkut asas fairness), kebebasan berkumpul dan berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otonominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara lebih kompetitif.

Bersamaan dengan itu, kita juga bisa mencatat adanya perubahan mendasar berdimensikan struktural dan kultural. Pertama, stabilitas demokrasi dimungkinkan oleh terpenuhinya prasyarat konsesus elit (elite settlement). Konsensus elit ini  melibatkan pengambil keputusan tingkat tinggi, pemimpin organisasi, politisi, petinggi pemerintah, kaum intelektual, pebisnis, dan pembentuk opini. Keyakinan mereka pada demokrasi membuat demokrasi berjalan.

Elite settlement merupakan faktor krusial yang memberi andil besar pada kegagalan eksperimen demokrasi Indonesia di masa lalu. Namun, gelombang demokratisasi pada era reformasi ini menunjukkan perkembangan positif dalam kemauan yang lebih luas di kalangan elit politik untuk mencapai konsensus. Dengan resistensi yang minimal, para elite setuju melakukan amandemen atas konstitusi. Dengan persetujuan serupa, kita masih perlu melakukan usaha lanjutan agar hasil amandemen itu lebih mendekati kesempurnaan, bukan makin menjauh dari kesempurnaan. Seturut dengan itu, ada kesepakatan dari para pemegang senjata dengan para elite negeri untuk tidak menghalangi atau membatasi proses demokratisasi. Walaupun masih memiliki modal politik dan posisi tawar yang tinggi, militer—sebagai salah satu aktor terpenting dalam jagat perpolitikan Indonesia—rela meninggalkan gelanggang politik praktis, tunduk pada otoritas sipil.

Bersamaan dengan itu, ruang partisipasi dalam kekuasaan diperluas secara horisontal dan vertikal lewat proses distribusi dan desentralisasi kekuasaan politik sebagai upaya menjaga kesatuan negara. Idealnya, proses ini mengantarkan Indonesia pada partisipasi politik masif dan terbesar dalam sejarah Indonesia maupun dunia. Konsensus oleh bangsa ini mengenai bentuk distribusi kekuasaan merupakan terobosan demokratisasi melalui pendobrakan institusi-instutisi pra-reformasi. Meskipun harus segera diberi catatan, bahwa kisruh yang terjadi dalam Pilkada di beberapa tempat menyiratkan masih lemahnya daya-daya konsensus elit yang antara lain disebabkan oleh masih lemahnya tingkat erudisi dan budaya politik demokratik, selain segi-segi yang menyangkut kesenjangan sosial, serta kelemahan pranata hukum dan institusi demokrasi.

Perkembangan ini diikuti pula oleh pencapaian kesepakatan diantara para elite individu maupun kolektif untuk loyal pada institusi dan praktik demokrasi. Apapun latar belakang ideologis dan kepentingan mereka, ada semacam kesepahaman bahwa institusi dan praktik demokrasi membantu tercapainya kemaslahatan umum. Tanpa adanya komitmen dan kepercayaan pada demokrasi dari elite politik, demokrasi hanya akan tinggal wacana.
Kesetiaan pada praktik dan institusi demokrasi dengan mengabaikan latar belakang ideologis dan identitas ini mengantarkan proses moderasi pemikiran dan ideologi antarkutub yang ekstrem. Elite politik yang berseberangan pun pada akhirnya dipaksa oleh keniscayaan sejarah dan kekuatan demokratis untuk melakukan pendekatan dan negosiasi yang kemudian memoderasi ekstrimitas ideologis, yang dapat mereduksi potensi konflik.

Selain itu, Orde Reformasi juga berhasil menghadirkan sejumlah institusi baru yang relatif berhasil menjadi tumpuan kepercayaan publik pada institusi-insitusi negara, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski misi besar reformasi untuk memberantas korupsi masih jauh dari tuntas, kehadiran institusi ini masih mendapat dukungan publik.

(Bersambung…)