Jakarta, Aktual.com – Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) segera akan menaikkan suku bunganya atau The Fed fund rate (FFR) Kendati hanya naik sekali di tahun ini, tapi kenaikannya itu akan cukup tinggi, sehingga bakal berdampak negatif bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Yang sudah pasti terjadi, adanya capital outflow atau arus dana keluar. Sebelumnya, baru rumor saja banyak asing yang ditarik keluar, saat FFR dipastikan akan naik, maka capital outflow akan lebih banyak dan akan mengguncang perekononian nasional.
“Jadi, yang saya lihat adalah Fed fund rate kemungkinan naik satu kali. Dan pada saat periode itu mau dilakukan, akan ada cukup tekanan dan untuk itu Indonesia harus terus waspada,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo di Gedung BI, Jumat malam, ditulis Sabtu (3/9).
Menurut Agus, sejak pidato Gubernur The Fed Janet Yellen beberapa hari lalu yang merencanakan kenaikan FFR, telah membuat volatilitas tinggi di pasar keuangan dunia.
Di beberapa negara, banyak yang kmd mengalami capital reversel atau penarikan dana menuju ke AS, termasuk dari Indonesia. Dalam tiga hari lalu, tanggal 23-25 Agustus banyak capital outflow.
“Kendati capital inflow banyak mencapai Rp162 triliun masuk, tapi ketika mendengar Fed fund rate mau naik, walaupun belum jelas, sudah ada outflow. Kita sebagai negara berkembang, sekalipun indikator ekonominya baik, tapi masih ada tantangan soal transaksi berjalan yang defisit,” beber Agus.
Artinya, kata Agus, dengan transkasi berjalan yang defisit maka ketergantungan terhadap ekonomi global sangat tinggi. Sehingga sangat mengandalkan dana masuk dari asing, baik itu foreign direct inbestmen (FDI) atau dalam portfolio investment lainnya.
Kendati dampaknya cukup serius terhadap perekonomian nasional, namun pihak BI masih optimis, karena beberapa indikator ekonomi yang ada masih cukup positif. Hanya masalah penerimaan pajak yang akan menjadi tantangan terbesar pemerintah.
“Kalau kita lihat Indonesia saat ini masih dalam kondisi yang cukup kuat. Baik dari sisi pertumbuhan, laju inflasi, maupun defisit transaksi berjalan,” ujarnya.
Saat ini, terang Agus, pertumbuhan ekonomi relatif baik, di kisaran 5,18 persen di kuartal pertama 2016. Sedang laju inflasi masih terjaga, bahkan secara year on year (yoy) 2,79 persen. Transkasi berjalan defisitnya masih di kisaran 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Di akhir tahun diperkirakan 2,2 persen dari GDP. Cuma dengan kenaikan Fed fund rate ini, ada potensi defisit neraca berjalan sampai di bawah minus 2,5 persen. Apalagi tantangan lainnya dari penerimaan negara sektor pajak,” jelas Agus.
Untuk itu, BI meminta pemerintah agar terus menjaga kondisi fiskalnya agar tetap sehat, defisit anggaran jangan sampai terlalu lebar.
“Dari siis fiskal harus terus dijaga. Defisit anggaran jangan sampai melebihi 2,5 persen. Jadi komitmen dari otoritas pemerintah untuk lakukan reformasi struktural itu mesti kuat,” ujarnya.
Jadi, urai Agus, dengan adanya kenaikan FFR ini, perekonomian dunia hingga akhir tahun semua dana akan mengalir ke AS. “Dan dampaknya akan sangat dirasakan oleh negara di dunia. Termausk Indonesia. Ini yang harus diwaspadai kita, baik dari sisi moneter maupun fiskal,” pungkas Agus.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh: