Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang dari permohonan yang diajukan Setya Novanto. Khususnya berkaitan dengan kasus pemufakatan jahat dalam perpanjangan PT Freeport Indonesia yang belakangan ditangani Kejaksaan Agung.
“Mengabulkan gugatan untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Arief Hidayat, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9).
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 15 UU Tipikor yang menyatakan frasa ‘Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14’.
Majelis hakim menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan norma UUD 195, khususnya Pasal 1 ayat (3) bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’ dan Pasal Pasal 28D ayat (1) bahwa ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’.
Ketentuan Pasal 15 UU Tipikor, khususnya frasa ‘pemufakatan jahat’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak ditafsirkan “…. yang mempunyai kualitas dalam hal undang-undang menentukan demikian ….”.
Putusan MK soal permufakatan jahat sebagaimana diatur Pasal 15 UU Tipikor sendiri disertai dissenting opinion tiga hakim konstitusi. Mereka adalah hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul.
Setya Novanto diketahui mengajukan uji materi UU Tipikor ke MK. Salah satu alasannya adalah bahwa Pasal 88 KUHP yang pengertiannya tentang pemufakatan jahat digunakan dalam beberapa undang-undang. Antara lain Pasal 15 UU Tipikor yang dianggapnya tidak memenuhi syarat lex certa, tidak jelas dan membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi disebabkan penegakan hukum yang keliru.
“Menurut Pemohon, pengertian pemufakatan jahat sebagai ‘dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kejahatan’ hanya sesuai untuk diterapkan terhadap tindak pidana umum,” kata Novanto dalam permohonannya.
Sebaliknya, pemberlakuan 4 pengertian pemufakatan jahat tersebut terhadap tindak pidana khusus, seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu akan berpotensi melanggar hak asasi dan represif.
Apa yang dialami Pemohon juga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negaralah terutama pemerintah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Kenyataannya negara belum dapat melaksanaan kewajiban konstitusional dengan baik.
Kaidah-kaidah UU Tipikor juga bertentangan dengan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang diajukan Setya Novanto. (Selengkapnya: Judicial Review Setya Novanto Dikabulkan MK, Rekaman Papa Minta Saham Ilegal).
Laporan: Soemitro
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby