Aksi unjuk rasa LMND tolak RUU Keamanan Nasional
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Eksekutif Nasional-Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND), bentrok dengan aparat kepolisian saat melakukan aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU KAMNAS) dan juga mendesak pemerintah untuk segera menasionalisai seluruh aset Freeport di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Januari 2016.

Jakarta, Aktual.com – Menyikapi situasi perekonomian nasional yang terus memburuk, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menggelar diskusi bertemakan ‘Semangat Revolusi Agustus Menuju Persatuan Gerakan Rakyat Membangun Kekuatan Alternatif’.

Diskusi ini merupakan rangkaian dari konsolidasi internal yang berlangsung selama tiga hari, 12 hingga 14 Agustus 2016 di Jakarta.

Dalam keterangan tertulisnya, Minggu (14/8), Ketua Penyelenggara Dewan Nasional Tintus Formancius mengungkapkan, kegiatan yang dihadiri perwakilan mahasiswa dari berbagai daerah itu untuk merumuskan persatuan gerakan rakyat dari berbagai sektor sekaligus membangun kekuatan politik alternatif.

Berangkat dari keprihatinannya terhadap kebijakan demi kebijakan pemerintahan saat ini, LMND menilai cita-cita awal didirikannya bangsa Indonesia semakin jauh melenceng. Meski rezim demi rezim berganti, rakyat terus-terusan menjadi objek dari segelintir kelompok bernama elit politik.

“Program pemerintahan Jokowi-JK dalam Nawacita untuk menciptakan kemandirian bangsa (Trisakti) terbukti hanya janji kampanye dan jargon semata. Pada prakteknya liberalisasi besar-besaran yang dilakukan, bahkan cenderung memfasilitasi permintaan pasar terutama modal asing saja,” tegas Tintus.

Ditengah berlangsungnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), LMND menilai paket-paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah tidak satupun menyentuh sektor perekonomian rakyat. Justru keberpihakannya diarahkan pada investor.

Begitu juga dengan pemberlakuan PP Pengupahan No 78 tahun 2015 yang sangat merugikan sekitar 55 juta kaum buruh. Nasib pekerja yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional itu kini diserahkan pada pasar.

Pengadaan lahan bagi investor, lanjut Tintus, juga mengancam sekitar 37,5 juta kaum tani kehilangan tanahnya. Berikut pembebasan bea cukai atas ekspor impor, utang luar negeri yang terus meningkat, serta pemberlakuan pengampunan pajak.

“(Semua itu) membuktikan pemerintahan hari ini tidak jauh berbeda dengan rezim sebelumnya yakni penganut mazhab neoliberalisme,” jelasnya.

 

Laporan: Sumitro

Artikel ini ditulis oleh: