Jakarta, Aktual.com – Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima), Sya’roni, menyatakan elit politik semestinya lebih responsif dalam menangkap aspirasi masyarakat. Salah satunya aspirasi yang disampaikan melalui media sosial.
Ia menekankan demikian sejalan dengan pembahasan RUU Pemilu. Dimana arus besar elit politik masih menghendaki adanya presidential threshold bagi pencalonan presiden. Pola lama yang akan dipertahankan, padahal zaman telah berubah.
“Sudah tidak zaman lagi jika elit politik masih merasa sebagai pihak yang paling berhak mengurus negara ini, termasuk dalam menentukan kandidat capres,” kata Sya’roni dalam keterangannya, Minggu (15/1).
Menurutnya, revolusi medsos telah menjadikan publik menembus ruang-ruang privat yang sebelumnya hanya milik para elit politik. Kekuatan medsos juga terbukti sudah berkali-kali mampu mempengaruhi kebijakan penguasa.
Untuk itu, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang dilaksanakan berbarengan dengan Pemilu Legislatif (Pileg), hendaknya elit politik tidak lagi berpikiran konservatif dengan kokoh mempertahankan adanya presidential threshold.
Ia menduga adanya presidential threslod dimaksudkan untuk menjegal figur alternatif. Pada akhirnya rakyat akan disuguhi figur itu-itu saja yang terbukti hingga hari ini gagal membawa perubahan bagi bangsa Indonesia.
“Elit politik sudah harus sadar bahwa rakyat sudah semakin pintar, berilah banyak alternatif calon pemimpinnya. PT sudah tidak relevan lagi, biarkanlah seluruh parpol mencalonkan kandidat dalam pilpres,” jelas Sya’roni.
Disinggung bagaimana Pilpres Amerika Serikat, arus bawah diberi kesempatan untuk menentukan capresnya melalui ajang konvensi. Dari konvensi parpol itulah akan muncul satu kandidat yang akan bertarung di Pilpres.
Indonesia bisa mengapdosinya dengan memperbanyak capres dan rakyatlah yang akan menentukan kandidat mana yang berhak untuk lolos putaran kedua.
Elit politik, tambahnya, tidak perlu khawatir akan kemampuan rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Elit selayaknya instropeksi bahwa seleksi kepemimpinan nasional seperti yang selama ini dilakukan ternyata gagal membawa perubahan.
Parpol-parpol mainstream terlalu terbelenggu oleh kepentingan pragmatis sehingga tidak berani melakukan inovasi politik yang brilian. Ketakutan parpol itulah yang akhirnya menggiring kepada keputusan mencalonkan figur yang pragmatis.
Misalnya, Jokowi dicalonkan karena populisnya. Padahal Jokowi belum seutuhnya menyerap ideologi parpolnya, sehingga dalam kebijakannya banyak yang berbau neolib seperti menaikkan kebutuhan vital rakyat.
“Dengan membuka kran bagi semua parpol bisa mencalonkan figur terbaiknya, maka rakyat akan disuguhi banyak menu alternatif. Parpol level menengah maupun kecil dipastikan akan memanfaatkan peluang ini dengan menampilkan figur terbaiknya,” urai dia.
Artikel ini ditulis oleh: