Oleh: Abdulloh

Jakarta, aktual.com – Selain Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Syekh Abul Hasan asy-Syadzili juga menyandang gelar  Quthub Aqthab Al-Ghauts (tingkatan wali tertinggi dalam hierarki kewalian), yang memiliki arti penuntun atau pembimbing menuju makrifat kepada Allah SWT, atau “Quthb al-Aqthab” (Pemimpinnya para wali). Ialah seorang wali agung pendiri tarekat Syadziliyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qarasy:

اذا ذكرت سيدي ابا الحسن الشاذلي, فقد ذكرت سيدي عبد القادر الجيلاني. واذا ذكرت سيدي عبد القادر الجيلاني, فقد ذكرت سيدي أبا الحسن الشاذلي لتوحد المقام فيهما ولأن سرهما واحد وهما لا يفترقان

“Ketika aku menyebut tuanku Abu Hasan asy-Syadzili, maka aku telah menyebut tuanku Abdul Qadir al-Jailani. Dan Ketika aku menyebut tuanku Syekh Abdul Qadir al-Jailani, maka aku telah menyebut tuanku Syekh Abu Hasan asy-Syadzili karena keduanya memiliki derajat yang sama, dan sirr (rahasia Allah) pada keduanya juga sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan,”.

Sebagai pendiri tarekat Syadziliyah, Syekh Abu Hasan as-Syadzili dipercaya bahwa garis keturunanya bersambung hingga Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dalam kitab al-Mafakhir al-‘Ulya fi al-Ma’atsir asy-Syadziliyyah karya Ibnu ‘Iyadh bahwa leluhur Imam as-Syadzili adalah Isa bin Idris bin Umar bin Idris bin Abdullah bin al-Hasan al-Mutsanna bin Sayyidina Hasan. Sedangkan dalam kitab Lathaif al-Minan karya Ibnu Athaillah as-Sakandari bahwa garis keturunan beliau adalah Isa bin Muhammad bin Sayyidina Hasan.

Pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang Bernama Gumarah, dekat kota Sabtah Afrika Utara Syekh Abu Hasan asy-Syadzili lahir, sebagian besar sumber menyatakan tentang Sejarah asy-Syadzili lahir di negeri Maghrib atau yang kita kenal dengan Maroko. Orang tuanya memberikan ia nama Ali, kelak ia akan lebih dikenal dengan Laqab atau julukan asy-Syadzili. Para ahli Sejarah sepakat bahwa ayahnya bernama Sayyid Abdul Jabbar  keturunan dari Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah.

Tarekat Syadziliyah memulai ekspansinya saat berada dibawah salah satu dinasti Al-Muwahhidun, yaitu Hafsiyah di Tunisia. Kemudian  tarekat ini berkembang di Mesir dibawah dinasti Mamluk. Di Indonesia sendiri, tarekat Syadziliyah ini berkembang pesat, terutama di Jawa Tengah dan Timur.

Karakter dan Pemikirannya

Menurut Asy-Syadzili, kesufian seseorang bukan dilihat dari pakaiannya yang compang-camping, akan tetapi ridho dengan pemberian Allah baik sedikit maupun banyak. Ia berpakaian parlente, meskipun terkadang ia menggunakan pakaian yang sederhana tapi tidak ditambal dan hal ini berbeda dengan kebanyakan pengamal thariqah yang lain. Ia menunggangi Kuda putih yang gagah dan paling mahal pada masanya. Berbadan ramping, jari jemarinya Panjang, seolah-olah ia orang Hijazi. Fasih berbicara dan manis dalam bertutur kata, ia juga mahir dalam berbagai disiplin ilmu; Tafsir, Gramatika Arab, Fiqih, Hadist dan Ulumul Hadist. Syekh Muhammad Danial Nafis mengatakan bahwa “harta yang Syekh Abu Hasan asy-Syadzili miliki ia pergunakan untuk khidmat kepada ummat”. Ini menjadi bukti bahwa pendefinisian zuhud bukan berarti meninggalkan dunia dari kehidupannya, akan tetapi bagaimana caranya agar dunia tidak sampai masuk ke relung hati kita.

Rihlah Ilmiah dan Ruhaniah

Imam Abu Al-Hassan dibesarkan di desanya, Ghumara, tempat ia menerima Pendidikan pertamanya  dan menghafal Al-Qur’an, kegemarannya dalam menuntut ilmu membuatnya  bertekad  mengarungi kota-kota besar yang ada di Maghrib seperti; Marrakesh,  Ceuta dan Fez.  Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Harazim (w.633 H), beliau adalah salah satu Syekh dan ulama yang tersohor dengan ilmu tasawwufnya baik di Maghrib maupun Andalusia. Dari guru pertamanya inilah, imam Abu Hasan asy-Syadzili mendapat pengesahan sebagai seorang salik pengikut ajaran tasawuf.

Setelah wafatnya guru pertama beliau, Imam Syadzili memutuskan untuk terus menuntut ilmu, dan pada tahun 603 H beliau pergi ke daerah Zarwilah (dekat wilayah Tunis) saat ia berusia sepuluh tahun. Di sinilah ia dibimbing keilmuan dan kealimannya oleh murid kesayangan Syekh Abu Madyan al-Maghrabi yaitu Sayyid Abu Sa’id Khalaf at-Tamimi (w. 628 H).

Selanjutnya tatkala ia sampai ke negeri Iraq, ia bertemu dan mulazamah dengan Syekh Abu al-Fath Najmuddin Muhammad al-Wasithi, murid dari Syekh Ahmad Ar-Rifa’I (pendiri tarekat Rifa’iyah), diakhir pertemuannya Syekh al-Wasithi berpesan “Pergilah ke negerimu, niscaya kamu akan mendapatkan apa yang kamu cari selama ini, yaitu seorang wali Quthb”.

Dalam kitab al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadziliyah karya Ibnu ‘Iyadh ia menyebutkan bahwa suatu Ketika Imam Abu Hasan Asy-Syadzili menceritakan pengalaman spiritualnya tatkala berguru kepada wali quthb Syekh Adus Salam bin Masyisy  “Aku bertemu dengannya Ketika ia menetap di atas gunung. Maka tatkala aku mlihatnya akupun bergegas mandi seraya berniat bahwa aku adalah seorang yang faqir ilmu agar ia mau mengajarkan tasawwuf  kepadaku. Ketika aku datang padanya ia berkata “Selamat datang wahai Ali bin Abdul Jabbar”. Kemudian ia menyebutkan nasabku hingga Rasulullah seraya berkata “Wahai Ali, engkau datang kepadaku dengan hati yang butuh akan ilmu dan amal, engkau berhak mendapatkan dariku ilmu dunia dan akhirat”. Aku pun terkejut dengan apa yang aku alami, akupun berguru padanya sampai pada derajat futuh (terbuka mata hati).

Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili senantiasa mengedepankan Syukur daripada bersabar, hal ini terbukti tatkala ia menjawab pertanyaan dari  kaum sufi lainnya “Pakaianku ini berkata alhamdulillah, aku bersyukur karena ini nikmatnya Allah. Sedangkan pakaianmu itu berkata kepadaku, bersedekahlah kepadaku karena Allah.”  Hal ini selaras sebagaimana yang dikatakan gurunda Abuya Nafis dalam pengajiannya “Orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang bersabar”.

Silsilah Thoriqoh syadziliyah sampai Rasulullah

Beliau, Syekh al-Imam Abil hasan Ali asy-Syadzilli menerima bai’at thoriqoh dari:

  1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari
  2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
  3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari
  4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari
  5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari
  6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari
  7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari
  8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari
  9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
  10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
  11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari
  12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari
  13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
  14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
  15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
  16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari
  17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari
  18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
  19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari
  20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain