Jakarta, Aktual.com – Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) mengingatkan tiga ancaman bagi institusi pendidikan yang akan mengganggu dan merusak pencapaian tujuan pendidikan, yakni narkoba, kekerasan pada institusi pendidikan dan krisis kebangsaan.
“Kami mendorong kesadaran publik sekaligus mendesak pihak-pihak yang memiliki tugas dan kewenangan untuk bersama-sama mengambil inisiatif, kebijakan dan tindakan nyata untuk mengatasi tiga ancaman tersebut,” kata Ketua Umum IKA UNJ Juri Ardiantoro di Jakarta, Selasa (1/5).
Mengutip data Puslitkes UI dan BNN tahun 2016, Juri mengatakan sekitar 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Menurut Juri, kondisi tersebut cukup ironis karena pendidikan diklaim memiliki peranan dalam mengatasi penyalahgunaan narkoba.
Demikian pula dengan kekerasan, baik fisik maupun mental. Ia mengatakan praktik kekerasan saat ini sudah menjangkit ke pihak-pihak utama dalam institusi pendidikan, baik perorangan maupun kelompok.
Kekerasan sudah dilakukan oleh antaranak murid, murid kepada guru atau sebaliknya guru kepada murid, orang tua murid kepada anak maupun guru.
“Ini sudah menunjukkan bahwa pendidikan kita sudah darurat akan kekerasan,” kata mantan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ini.
Terkait dengan krisis kebangsaan, Juri mengutip hasil survei Alvara Research Center tahun 2018 yang menemukan ada sebagian generasi milenial atau generasi kelahiran akhir 1980-an dan awal 1990-an setuju pada konsep khilafah sebagai bentuk negara.
Dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia yang menjadi responden, sebanyak 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara.
Survei BIN tahun 2017 memperoleh data bahwa 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.
“Angka-angka persentase pelajar dan mahasiswa memang sebagian kecil dari keseluruhan, tapi tidak boleh dibaca jumlah yang kecil,” kata Juru.
Menurut dia, baik narkoba, kekerasan, maupun paham anti kebangsaan Indonesia telah berkembang sangat signifikan sehingga tidak boleh diabaikan.
“Kita tidak ingin generasi Indonesia yang akan datang adalah generasi yang tidak memiliki kepasitas mumpuni untuk menyiapkan diri menghadapi berbagai perubahan yang cepat dan gagap dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang indah ini,” katanya.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: