Dinamika politik DKI Jakarta akhir-akhir ini semakin menguat. Apalagi terkait dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta 2017 . Banyak opini dan diskusi mulai merambah masyarakat Ibu Kota ini, tidak terkecuali di kantor penulis.
Ya, opini dan diskusi ini mengarah kepada peluang petahana (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan kandidat penantangnya. Memang, Ahok sementara ini secara nyata belum memiliki penantang yang kuat secara popularitas. Padahal, faktor utama yang bisa mengalahkan Ahok adalah popularitas.
Terbukti, dari hasil pelbagai lembaga survei tentang popularitas memang sementara ini menempatkan Ahok itu dalam posisi pertama.
Meski demikian, kandidat penantang Ahok tak perlu takut dan risau, karena figur Ahok tidak sekuat yang dicitrakan di media massa maupun media sosial. CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah mengatakan “Ada jarak antara elektabilitas dan popularitas yang sangat jauh.”
Bagi penulis, pernyataan Eep seakan membuka angin segar dalam perpolitikan DKI Jakarta. Tak hanya itu pernyataan Eep seolah membuka kotak pandora lembaga survei yang sementara ini masih mengunggulkan Ahok.
Tak hanya itu, pernyataan Eep juga bisa membuat reda atau setidaknya menetralisir pernyataan sejumlah pengamat dan tokoh lainnya bahwa Ahok terkesan seperti ‘dewa’ atau lawan yang tiada tandingan dan seakan Ahok bakal menang mudah siapa pun lawannya di Pemilukada DKI.
Sayang, pernyataan itu banyak pula disanggah dan bahkan mencibir Eep. Perlu digarisbawahi, bahwa Eep adalah salah satu ‘otak’ kemenangan pasangan Jokowi-Ahok di Pemilukada DKI 2012 dan Jokowi-Jusuf Kalla di Pilpres 2014.
Mari bicara soal Ahok lagi, secara popularitas Ahok jauh meninggalkan lawan politiknya. Hal itu didasari bahwa Ahok adalah media darling meskipun selalu mengeluarkan komentar pedas bahkan kasar. Bahkan untuk menjaga citranya, Ahok selalu marah dan mengancam anak buahnya setiap hari, Ahok seolah menjaga ritme kerja. Ahok tidak segan memecat bawahannya dan melakukan bongkar pasang birokrasi sesuai seleranya. Hal inilah membuat Ahok ter-framing seolah sosok tegas dan kontroversial.
Kesemuanya itu, ada celah dan catatan menarik yang perlu disorot pada sosok Ahok ini. Apakah itu? Satu-satu cara untuk menguliti sosok Ahok tanpa menimbulkan perdebatan yakni mengupas habis kinerjanya sejak menjabat sebagai gubernur DKI menggantikan Jokowi yang menjadi presiden ke-7 RI pada 20 Oktober 2014. Nah, dengan beginilah penilaian terhadap Ahok bisa dikatakan objektif dan pakai data, tidak asal kritik. Kalau kita berdebat soal sosok Ahok, entah ia dikenal jujur, tegas, antikorupsi, kasar, atau gemar menyalahkan bawahan, penilaian itu jelas subjektif.
Coba kita tengok, apakah kinerja pemerintahan DKI Jakarta berjalan dengan baik sejak dipimpin Ahok? Pertama, mengacu pada Pemprov DKI hanya menduduki peringkat ke-18 dengan nilai 58,57 atau mendapat predikat CC dalam penilaian Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Provinsi yang diadakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) 2014.
Nilai itu jauh dibandingkan dengan Propinsi Jawa Timur dan Yogyakarta yang menduduki urutan 1 dan 2 dengan mendapat predikat A yang masing-masing meraih nilai 80,68 dan 80,04. Sedangkan Pemprov Jawa Tengah dan Pemprov Jawa Barat masing-masing mendapat predikat BB dengan nilai 72,09 dan 70,06.
Terbukti, dari data yang dikeluarkan Kemenpan RB ini bahwa reformasi birokrasi dan transparansi yang selama ini didengungkan Ahok ternyata baru sebatas wacana. Kemudian dengan bongkar pasang birokrasi yang ditempuhnya belum membuahkan hasil menggembirakan. Apalagi kesan dia soal keberaniannya membongkar mafia anggaran hanya sebatas pernyataan manis. Ironisnya, Ahok kalah telak dibandingkan Wali Kota Ridwan Kamil (Emil) yang menempatkan Bandung di posisi pertama tata kelola pemerintahan versi Kemenpan RB.
Lalu kedua, kita berbicara soal serapan anggaran. Dalam APBD DKI versi Kemendagri, pada tahun 2014, anggaran DKI sebesar Rp 72 triliun hanya terserap tak sampai 40 persen atau terendah sepanjang sejarah. Dan kemduian pada APBD 2015 anggaran sebanyak Rp 73,08 triliun hanya terserap sekitar 67 persen. Akibatnya, pembangunan yang seharusnya bisa melaju kencang malah terhambat.
Namun, Ahok berkilah bahwa pembangunan tetap berjalan meskipun tanpa perlu gunakan dana APBD, lalu dana apa yang dipakai Ahok? Mengutip pernyataan Ahok, banyak peran pengembang dalam membangun Ibu Kota.
Bahkan, lanjut dia, tak sedikit program Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI yang merupakan program corporate social responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan swasta. Ini perlu kita kritisi. Karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar CSR. Sebab, pembentukan tersebut dipaksa oleh gubernur, wali kota atau bupati. Kemudian para pengusaha ini mengeluarkan dana CSR adakah maksud tujuan tertentu yang diharapkan kepada gubernur, wali kota atau bupati?.
Kembali soal APBD, Presiden Jokowi pernah mengancam menjatuhkan sanksi bagi kepala daerah yang serapan anggarannya rendah. pada awal 2016, Jokowi juga membanggakan realisasi penggunaan APBN 2015 pada posisi 91,2 persen atau lebih tinggi dari perkirakan pengamat soal serapan anggaran di kisaran 80 persen.
Ketiga, ada beberapa kasus menarik perlu menjadi catatan kinerja Ahok selama ini dan bisa membuka tabir Ahok sendiri. Seperti kasus Rumah Sakit Sumber Waras yang menyebabkan potensi kerugian negara versi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp 191 miliar. Kemudian izin reklamasi pulau di Pantai Utara Jakarta yang terlihat menguntungkan perusahaan properti tertentu.
Keempat soal penggusuran warga, cara Ahok lebih kasar atau bisa disebut tidak manusiawi jika dibandingkan dengan Jokowi saat menjadi gubernur DKI Jakarta.
Ingat peristiwa relokasi warga di Kampung Pulo mirip dengan pemindahan warga di bantaran Waduk Pluit di masa Gubernur Jakarta Jokowi. Awalnya niat Jokowi merelokasi warga juga mendapatkan perlawanan.
Namun, Jokowi menggunakan jurus andalannya untuk meluluhkan hati warga. Jokowi mengundang warga Waduk Pluit dalam jamuan santap siang di Balai Kota Jakarta.
Namun apa yang dilakukan Ahok saat menggusur Kampung Pulo dan terakhir Kalijodo. Kekuatan militer dan polisi lebih ditonjolkan oleh Ahok. Hal ini membuat warga merasa terintimidasi.
Hasilnya, warga dengan sukarela pindah ke rumah susun yang disediakan oleh Pemprov DKI. Waduk Pluit pun kini menjadi asri
Dengan terungkapnya fakta tersebut pencapaian Ahok selama menjadi gubernur DKI sebenarnya tidak terlalu mengesankan, meski ada juga prestasinya yang tak sedikit.
Strategi Tepat Kalahkan Ahok
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ataupun Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang baru menjalani periode kedua pemerintahannya setelah memenangkan pilkada serentak 2015. Karena kebetulan juga mereka kepala daerah populer yang dianggap sukses membangun wilayahnya.
Namun berbeda dengan Pemilukada DKI 2017, meskipun Ahok sebagai petahana yang sementara ini diunggulkan, calon lawan Ahok masih melihat celah peluang untuk bisa menang. Namun harus dengan strategi yang tepat diusung penantang Ahok.
Ahok naik menjadi gubernur DKI merupakan nasib dia yang baik, karena Jokowi naik menjadi presiden RI. Lalu Ahok belum teruji seperti Risma dan Anas yang sudah dua kali menang di pesta demokrasi.
Dengan masih adanya waktu sebelum Pemilukada DKI dihelat pada April 2017, pendukung Ahok selalu mensosialisasikan bahwa sosok mantan Bupati Belitung Timur ini adalah tegas dan tanpa kompromi, bukan menonjolkan prestasinya. Karena prestasi yang diukir Ahok dapat diperdebatkan.
Sementara itu Ahok juga dibesarkan karena di-back up media yang sangat gencar memberitakannya siang dan malam tanpa henti. Meski isi beritanya (maaf) soal ‘cangkem’ saja.
Kemudian, kalau jeli, calon penantang Ahok jangan lagi memainkan isu agama meski pendukung Ahok pada kenyataannya juga ikut memainkan isu tersebut. Menurut penulis, kandidat lawan Ahok hanya perlu menunjukkan bahwa kinerja petahana selama ini tidak bagus-bagus amat.
Dengan memanasnya suhu politik menjelang Pemilukada DKI Jakarta 2017, penulis berharap tidak ada polarisasi yang kuat melebihi pilpres 2014, meski tanda-tanda itu sudah mulai tampak. Kandidat penantang bisa menang tanpa perlu memainkan isu SARA.
Penulis mengibaratkan, Ahok itu seperti ‘virus’ yang kebal dengan ‘imun’ kalau tidak ‘dimatikan’ maka ‘Virus’ akan semakin ‘menggerogoti’. Walupun kita harus siap terima kenyataan nanti Ahok terpilih menjadi gubernur DKI periode 2017-2022, kalau penantangnya tidak cerdik mengolah isu. Penantang Ahok harus bisa bermain cantik seperti irama permainan bola ‘Tiki-taka’ ala Barcelona.
Oleh: Sukardjito (Redaktur Aktual Network)
Artikel ini ditulis oleh: