Personel TNI AL melakukan patroli di sekitar perairan Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jateng, Kamis (28/7). Menjelang pelaksanaan eksekusi mati tahap ke III, petugas gabungan dari TNI AL dan Polri melakukan pengamanan di sekitar wilayah perairan nusakambangan. ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/pras/16.

Jakarta, Aktual.com – Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari, menilai tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan oleh tiga nelayan yakni Mustaghfirin alias Boby, Bahrudin alias Edo, dan Mastono alias Baok. Hal ini terkait dengan tuduhan pungutan liar yang dilakukan oleh ketiga nelayan tersebut.

Dengan demikian, pengacara Publik LBH Jakarta Matthew, meminta kepada pihak kepolisian untuk melakukan gelar perkara, demi mengetahui ada tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh ketiga nelayan tersebut di pantai perawan pulau pari.

“Kami telah mengirimkan surat permohonan untuk dilakukan gelar perkara, kami ingin memperlihatkan didepan polisi dan jaksa bahwa tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan oleh ketiga nelayan,” kata Matthew dalam siaran persnya yang diterima aktual.com di Jakarta, Rabu (17/5).

Diungkapkan Matthew, pada Senin (15/5), Polres Kepulauan Seribu melimpahkan berkas ketiga nelayan pulau pari tersebut ke Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari terkejut dengan pelimpahan berkas yang dilakukan oleh polres kepulauan seribu.

“Kami berkesimpulan kasus ini dipaksakan oleh pihak kepolisian, sehingga sudah seharusnya dilakukan penghentian perkara terhadap perkara ini,” ujar Matthew.

Sebelumnya pada tanggal 11 Maret 2017 tiga nelayan pulau pari yakni Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bahruddin alias Edo ditangkap polres kepulauan seribu. Ketiganya dituduh melakukan pungli dengan membebankan biaya sebesar Rp5.000 kepada para wisatawan yang ingin masuk ke wilayah pantai pasir perawan.

Dijelaskan, pungutan yang dilakukan nelayan di pulau tersebut merupakan wilayah kelola bersama nelayan. Nelayan-nelayan pulau pari bersama-sama membuka pantai perawan sebagai tempat wisata, untuk menjaga pantai perawan tetap bersih maka seluruh warga sepakat membebankan kepada para wisatawan yang berkunjung dikenakan biaya Rp5.000, namun apabila ada wisatawan yang tidak ingin membayar, warga tetap mempersilahkan mereka masuk dan tidak memaksa.

“Uang tersebut dikumpulkan dan tidak untuk kepentingan pribadi. Uang tersebut dikelola bersama untuk membayar petugas kebersihan, membayar listrik penerangan, membangun sarana dan prasarana pantai, membangun tempat ibadah dan menyantuni anak yatim. Karenanya kami menilai ada kekeliruan dan pemaksaaan penerapan hukum dalam kasus ini,” ujar Tigor Hutapea, Pengacara Publik KNTI.

Artikel ini ditulis oleh: