Jakarta, Aktual.com – Tim Evaluasi Penanganan Terorisme memberikan tiga catatan terkait bom bunuh diri di penghujung bulan Ramadhan 1437 H, tepatnya 5 Juli 2016. Bom meledak di Mapolresta Solo, Jawa Tengah dan mengakibatkan seorang provost yang tengah berjaga mengalami luka akibat serpihan bom.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) saat itu, yakni Komjen Tito Karnavian, yang kini telah dilantik sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti, menyebut bahwa pelaku bom bunuh diri yakni Nur Rohman sudah menjadi buronan sejak Desember 2000. Pelaku juga dinyatakan dia terkait jaringan ISIS.
Tim Evaluasi Penanganan Teroris yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat menyatakan keprihatinan dan simpati mendalam kepada aparat yang terluka akibat kejadian tersebut. Dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, M Busyro Muqoddas, Franz Magnis Suseno, Hafidz Azhar, Dahnil Anzar Simanjuntak, Siane Indriani, Hafid Abbas dan Magdalena Sitorus memberikan tiga catatan terkit hal itu.
Pertama, Undang-Undang HAM No 39/1999 dan sejumlah Undang-Undang terkait lainnya serta panduan penanganan terorisme yang dipublikasikan oleh Dewan HAM PBB, menekankan bahwa penanganan terorisme haruslah dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal HAM.
Kendati seseorang telah diduga teroris, namun ia harus tetap diperlakukan sebagai manusia dengan segala kehormatan dan martabatnya. Mereka diberi kesempatan untuk membela diri dan didampingi pengacara, terbebas dari intimidasi, retliasi dan kekerasan dalam bentuk apapun. Selain itu kerahasiaan pribadinya terlindungi serta mendapatkan perawatan bantuan psikologis dan sosial.
“Dalam situasi darurat penanganan terorisme, hendaklah dilakukan dengan memperhatikan asas proporsionalitas dan penanganannya dipantau dan diaudit oleh satu lembaga independen,” terang Busyro.
Catatan kedua, tim mengkritisi inkonsistensi Tito yang menyatakan bom Solo tidak ada hubungannya dengan bom Thamrin. Padahal, sebelumnya Tito menyatakan bom Solo terkait serangan bom Thamrin dan kemudian diulas di berbagai media massa.
Catatan ketiga, yakni pernyataan Tito bahwa BNPT telah mengidentifikasi pelaku Nur Rohman sebagai buronan dan jaringan ISIS sejak tahun 2000. Dengan pernyataan itu, tim menilai pelaku berarti baru berusia 14 tahun dengan kelahiran 1 November 1985.
“Apabila Nur Rohman masuk sekolah usia 7 tahun, berarti ia sudah menjadi teroris ketika duduk di kelas 6 SD atau kelas 1 SMP. Perlu disampaikan bahwa jaringan ISIS baru dinyatakan lahir pada tahun 2013,” jelas Hafid Abas.
Laporan: Sumitro
Artikel ini ditulis oleh: