Jakarta, aktual.com – Tim Kuasa Hukum Danny Praditya melalui juru bicara FX L. Michael Shah menyampaikan perkembangan terbaru persidangan perkara Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energy (IAE)/Isargas Group.
Menurut Michael, rangkaian sidang pada awal Desember 2025 membuat konteks perkara ini semakin jelas. Fakta-fakta yang muncul di persidangan, kata dia, justru menguatkan bahwa kerja sama PGN–IAE adalah keputusan bisnis kolektif direksi yang diambil dalam mekanisme korporasi dan koridor regulasi, bukan keputusan individu.
Pada sidang 4 Desember 2025, pembuktian perkara mendapat penguatan dari sisi tata kelola BUMN dan hukum perjanjian. Dari perspektif BUMN, Anas Puji Istanto (Asisten Deputi Bidang Peraturan Perundang – Undangan menegaskan bahwa keputusan strategis direksi di BUMN pada prinsipnya lahir dari mekanisme kolektif-kolegial melalui rapat dan organ perseroan yang berlandaskan Good Corporate Governance (GCG). Karena itu, pertanggungjawaban atas kebijakan korporasi tidak bisa otomatis diarahkan kepada satu orang, kecuali ada bukti kuat bahwa keputusan tersebut benar-benar berdiri sebagai tindakan personal.
Sementara dari sisi hukum perjanjian, Dr. Fully Handayani Ridwan, S.H.,M.Kn menegaskan prinsip kebebasan berkontrak dan syarat sah perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, serta doktrin bahwa kontrak yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Dalam kerangka itu, interpretasi perjanjian tidak dapat ditarik keluar dari maksud perikatan para pihak tanpa dasar mekanisme hukum yang tepat.
Fully juga menyoroti bahwa struktur kerja sama PGN–IAE sejak awal sudah memuat perangkat mitigasi risiko. Fidusia dan Parent Company Guarantee (PCG) disebut sebagai jaminan tambahan yang pada prinsipnya dapat dieksekusi melalui jalur perdata.
Jaminan tambahan, menurutnya, tidak hanya terbatas pada aset fisik, tetapi juga dapat mempertimbangkan nilai bisnis. Ia juga merujuk Pasal 1820 KUHPerdata bahwa penjamin memiliki kewajiban tanggung renteng terhadap kewajiban pihak yang dijamin.
Bagi tim kuasa hukum, keterangan Anas dan Fully saling mengunci pesan yang sama: perkara ini bertumpu pada mekanisme keputusan kolektif dan kontrak bisnis yang memiliki jaminan serta instrumen pemulihan, sehingga tidak tepat disederhanakan sebagai keputusan personal yang otomatis dipidanakan.
Sebelumnya, pada sidang 1 Desember 2025, dua saksi dari IAE/Isargas, Sofwan dan Wahid Hasyim, menegaskan bahwa Isargas memiliki pasokan gas, membangun infrastruktur dan siap mengalirkannya. Mereka menyatakan kerja sama dengan PGN adalah murni transaksi jual beli gas, bukan transaksi fiktif. Dalam keterangan yang dirangkum kuasa hukum, advance payment US$ 15 juta juga ditempatkan sebagai “deal business” untuk menjamin pasokan dan hubungan jangka panjang, bukan skema pembiayaan terselubung.
Michael menyebut keterangan ini penting karena menegaskan bahwa kerja sama memiliki objek yang nyata dan rasional secara bisnis.Risiko Kriminalisasi Keputusan Bisnis BUMN Seiring bergulirnya perkara ini, perdebatan publik mengenai kriminalisasi keputusan bisnis di BUMN semakin menguat. Dalam konteks itu, tim kuasa hukum mengingatkan bahwa direksi BUMN pada prinsipnya menjalankan fiduciary duty untuk menjaga kinerja perusahaan dan kontribusinya terhadap negara, termasuk ketika harus mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko.
Tim kuasa hukum menegaskan, risiko kontraktual dan dinamika implementasi bisnis tidak bisa serta-merta diposisikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Jika setiap risiko bisnis langsung dibaca sebagai tindak pidana korupsi tanpa pembedaan yang jelas, maka akan muncul ketakutan baru di kalangan manajemen BUMN untuk mengambil kebijakan strategis — termasuk kebijakan yang justru dibutuhkan untuk menjaga pasokan, mempertahankan pasar, dan mengamankan kinerja perseroan.
Karena itu, pembelaan berharap perkara ini menjadi momentum untuk menegaskan batas yang tegas antara risiko bisnis yang wajar dalam keputusan korporasi dan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur tindak pidana.
Rangkaian fakta persidangan awal Desember ini, menurut tim kuasa hukum, melengkapi dan menguatkan pernyataan yang sudah mereka sampaikan pada 27 November 2025. Kerja sama PGN–IAE lahir dari kebutuhan mengelola perubahan regulasi dan dinamika pasar gas bumi pasca berlakunya UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan rencana revisi Permen ESDM No. 19 Tahun 2009. Dalam periode tersebut, PGN menghadapi persaingan ketat dari badan usaha niaga swasta dengan alokasi gas serta infrastruktur besar di wilayah yang selama ini menjadi pasar PGN.
Berdasarkan fakta persidangan dan data yang disampaikan ke pengadilan:
●PGN kehilangan sekitar 55 MMSCFD pasar di Jawa Barat, setara potensi kehilangan pendapatan sekitar US$ 170 juta per tahun.
●Di Jawa Timur, PGN kehilangan sekitar 40 MMSCFD, dengan potensi kehilangan pendapatan sekitar US$ 116 juta per tahun.
Dalam situasi itu, kerja sama dengan IAE diposisikan sebagai langkah untuk menjamin keberlanjutan pasokan gas yang dibutuhkan PGN, melindungi pasar eksisting PGN, serta menjaga utilisasi infrastruktur dan posisi tawar terhadap kompetitor swasta.
Kondisi keuangan Isargas Group yang tidak baik saat itu disebut membuat kelompok usaha ini rentan diambil alih oleh pesaing PGN. Kekhawatiran direksi PGN dinilai sejalan dengan keterangan Suko Hartono terkait wacana akuisisi Isargas oleh Pertagas. Fakta lain yang diungkap menunjukkan salah satu afiliasi IAE, PT Banten Inti Gasindo (BIG), tengah dalam proses akuisisi oleh kompetitor dengan valuasi lebih dari US$ 20 juta.
“Atas fakta-fakta tersebut, motif bisnis PGN dalam kerja sama dengan IAE adalah mempertahankan pasar dan kinerja perseroan, bukan menimbulkan kerugian negara,” tegas Michael.
Manfaat Finansial Bagi Negara dan BUMN
Tim kuasa hukum menyatakan kerja sama PGN–IAE sejak awal dirancang menghasilkan manfaat ekonomi yang terukur, antara lain:
●Supply gas sekitar 15 BBTUD selama 6–10 tahun dengan nilai sekitar US$ 128–230 juta.
●Proteksi pasar eksisting PGN di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan nilai estimasi US$ 504–840 juta.
●Margin pengelolaan gas yang diperkirakan sekitar US$ 20–43 juta.
Dalam konstruksi itu, advance payment (AP) sebesar US$ 15 juta ditempatkan sebagai alat negosiasi komersial (position of leverage) untuk menjaga posisi PGN di wilayah yang sangat kompetitif, bukan sebagai kerugian keuangan negara.
Aspek Kepatuhan dan Tata Kelola
Seluruh keputusan bisnis terkait kerja sama ini disebut diambil melalui mekanisme korporasi yang sah dan terdokumentasi:
●Diputuskan secara bulat oleh Direksi PGN tanpa dissenting opinion. Danny Praditya menandatangani perjanjian sebagai Direktur Komersial dalam rangka menjalankan keputusan kolektif BOD.
●Prinsip kehati-hatian (prudence) dijalankan dengan menunjuk konsultan hukum eksternal untuk menelaah aspek komersial-kontraktual, termasuk kepatuhan terhadap UU PT, UU BUMN, POJK, dan KUHPerdata.
●Direksi PGN meminta jaminan tambahan berupa jaminan fidusia atas pipa BIG dan Parent Company Guarantee (PCG).
Di sisi regulasi migas, tim kuasa hukum menegaskan tidak ada dokumen negara yang secara eksplisit melarang skema penjualan bertingkat sebagaimana dipersoalkan, sepanjang memenuhi kriteria Pasal 12 ayat (4) Permen ESDM No. 06 Tahun 2016.
Penafsiran ini disebut diperkuat dengan surat Dirjen Migas 8 September 2021 yang membuka ruang agar transaksi dapat dilanjutkan dengan penyesuaian. Saksi dari BPH Migas, Alfansyah, di persidangan juga menguatkan bahwa PGN masuk dalam kriteria pengecualian tersebut.
Tanggapan atas Keterangan Saksi Ahli BPK
Terkait keterangan saksi ahli BPK dan LHP yang dijadikan dasar dakwaan, tim kuasa hukum berpandangan bahwa:
●LHP BPK disusun bertumpu pada konstruksi hukum yang lebih dahulu dibangun dalam proses penyidikan, sehingga tidak sepenuhnya menggambarkan karakter transaksi bisnis jangka panjang di sektor migas.
●Penyusunan LHP tidak melibatkan ahli bisnis migas maupun ahli hukum independen untuk membaca praktik jual beli gas, risiko pasar, serta penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam keputusan direksi PGN.
●Hingga kini tidak ada pedoman resmi yang menjelaskan secara rinci penafsiran Permen 06/2016, terutama Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 36, sehingga penafsiran yang muncul pada tahap penyidikan berpotensi sangat subjektif.
Dalam kerangka itu, tim kuasa hukum menegaskan klaim kerugian negara yang disamakan dengan nilai advance payment bersifat konstruktif dan belum final, terutama karena kontrak masih menyediakan mekanisme penyelesaian perdata, termasuk arbitrase dan eksekusi jaminan, yang seharusnya dapat ditempuh manajemen PGN.
Penegasan Kuasa Hukum
Menutup pernyataannya, FX L. Michael Shah kembali menegaskan beberapa hal pokok yang dinilai konsisten dengan fakta persidangan hingga 4 Desember 2025:
1.Kerja sama PGN–IAE adalah keputusan bisnis kolektif direksi, bukan tindakan individu Danny Praditya.
2.Keterangan saksi Sofwan dan Wahid Hasyim menegaskan Isargas memiliki pasokan gas dan transaksi ini bukan kontrak fiktif.
3.Keterangan Saksi ahli —termasuk Anas Puji Istanto dan Dr. Fully Handayani Ridwan, S.H.,M.Kn —menguatkan kerangka GCG, kolektif-kolegial, serta kekuatan mengikat kontrak dan jaminan fidusia/PCG.
4.Klaim kerugian negara yang menyamakan nilai advance payment sebagai kerugian final perlu diuji secara utuh bersama manfaat ekonomi dan mekanisme pemulihan kontraktual yang tersedia.
“Gas tetap mengalir, kontrak sah, dan keputusan direksi PGN diambil dalam kerangka menjaga kinerja BUMN, ” demikian penegasan yang kembali disampaikan tim kuasa hukum.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















