Jakarta, Aktual.com — Rencana reshuffle kabinet dinilai menimbulkan kegaduhan politik dan syarat politik dagang sapi antara Jokowi, JK dan parpol koalisi.
“Sebenarnya hal itu mencerminkan bahwa kasak-kusuk kekuasaan selalu jadi perhatian masyarakat politik dan publik. Berbagai kekuatan politik memang sedang tarik ulur dan saling desak-mendesak agar kebagian kursi di kabinet,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring, Bin Firman Tresnadi, dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/4).
Dikatakan, Reshuffle butuh ketegasan Presiden Jokowi agar tidak menimbulkan kegelisahan politik yang berkepanjangan. Jokowi tidak perlu ragu untuk melakukan perombakan kabinetnya, apalagi dukungan parpol-parpol kepadanya makin tinggi.
Jokowi harus percaya diri, sebab kondisinya diuntungkan situasi karena tidak adanya tradisi oposisi loyal di Indonesia membuat parpol oposisi akan merasa kesepian, serta tak percaya diri karena mindset dan mental para politisinya hanya mengerti bagaimana musti berkuasa dan tidak paham bagaimana menjadi oposisi yang baik dan loyal kepada elite negara.
Akibatnya, kata dia, rencana baik Presiden Joko Widodo untuk merombak kabinet malah membuatnya dituding sebagai presiden yang tidak tegas, tak konsisten dengan visi misi Trisakti dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Padahal, reshuffle mutlak diperlukan untuk memperbaiki kinerja Kabinet Kerja. Jokowi juga harus terus didorong agar pemerintahannya menerapkan Nawacita dan Trisakti yang didengung-dengungkannya saat kampanye pilpres lalu.
“Jokowi Harus merombak kabinet agar sesuai visi misi Trisakti, Revolusi Mental dan Nawa Cita. Sebab kalau tidak, rakyat bakal kecewa. Jangan sampai kekecewaan rakyat membuat mereka mengerahkan demonstrasi atau malah people power mendesak Jokowi ‘madeg pandito ratu’ hanya karena rakyat merasa sudah kena PHK, sangat lapar, lapangan kerja susah, daya beli menurun, dan para menteri malah dangdutan, dianggap kerja seenaknya sehingga Jokowi yang kena imbasnya,” ucap dia.
Bin Firman menambahkan, sejumlah fakta mengenai kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK juga dinilai belum bergeser dari pendekatan ekonomi rezim neoliberalisme, sehingga pemerintahan dilandaskan Trisakti dan Nawacita cuma ‘lip service’ saja .
Seperti contoh, penghilangan alokasi dana subsidi BBM yang katanya akan dialokasikan untuk pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur serta ketahanan pangan, ternyata dialihkan untuk membayar utang BUMN dengan kedok Dana Penyertaan Modal Negara di fostur APBN, serta Impor pangan justru makin tinggi.
“Malahan, dalam derajat tertentu pemerintahan Jokowi-JK jauh lebih neoliberal dibandingkan rezim sebelumnya. Buktinya, Presiden Jokowi dan menteri-menterinya sudah sibuk ‘menjajakan’ Indonesia kepada investor asing melalui berbagai forum. Juga dalam hitungan bulan, satu persatu layanan publik strategis dan barang publik sudah diserahkan ke mekanisme pasar,” jelasnya.
Yang perlu diketahui, lanjutnya, salah satu esensi dari neoliberalisme adalah komoditifikasi berbagai jenis barang dan layanan publik; energi, pangan, air minum, udara, tanah, hutan, pelabuhan, jalan raya, kesehatan, transportasi publik, pendidikan, dan lain sebagainya.
Proses komoditifikasi ini dibuka selebar lebar pada investor asing dan swasta sehingga menghilangkan peran negara terhadap komoditifikasi.
Dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 2 ditegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kemudian, pasal 33 UUD 1945 ayat ke 3 menegaskan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
“Itulah harapan rakyat pada Presiden Jokowi, dan kali ini reshuffle jilid II dibutuhkan agar tidak memperpanjang ketidakpastian. Tidak ada yang mendikte Jokowi kecuali situasi dan keadaan negeri ini. Mari kita dukung perombakan kabinet yang kredibel untuk perbaiki kinerja pemerintah, agar rakyat menatap harapan di hari hari ini dan masa depan.”
Artikel ini ditulis oleh: