Jakarta, Aktual.com — Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan mengembangkan program ketahanan pangan berbasis badan usaha milik rakyat (BUMR) untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan dalam negeri, sekaligus kesejahteraan petani dan para pelaku usaha pangan.

“BUMR adalah pendekatan baru bagaimana kita mengorganisasi suatu kawasan tertentu, mungkin (luasnya sekitar) 6.000 ha. Konsepnya nanti ada sebuah pabrik lengkap dengan fasilitas pengeringan dan pemrosesan di pabrik itu. Kemudian me-range out sawah dengan ukuran-ukuran tertentu,” kata Kepala Bappenas Sofyan Djalil di sela-sela rapat kerja dengan Kementerian/Lembaga di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin (22/2).

Sofyan mencontohkan BUMR yang sukses dikembangkan di Sukabumi, dimana per sel sawah, struktur tanah dan berapa pupuk yang dibutuhkan dapat diidentifikasi. BUMR juga terkoneksi dengan pasar sehingga membantu petani memasarkan hasil panennya.

“BUMR baru uji coba. Kalau yang sudah jalan di Sukabumi, itu mulanya cikal bakal dari perusahaan seseorang yang membina petani supaya tidak terjebak rentenir. Diperiksa sawahnya tentang kondisi alamnya, tanahnya, sudah ada indikasi semua. Sehingga apa yang paling cocok di Sukabumi, itu yang akan jadi prototype,” ujar Sofyan.

Ia menambahkan, apabila model BUMR seperti di Sukabumi berhasil dilakukan diterapkan di dua hingga tiga kluster di lokasi lain, maka model tersebut dapat diterapkan secara massal ke depannya.

“Kita harus lihat dulu implementasinya. Jadi kalau pilot project belum berhasil, perlu kesabaran. Tahun ini kalau bisa 4-5 kluster,” ujar Sofyan.

Pada Jumat (19/2), Bappenas menggelar Forum Discussion Group (FDG) yang membahas rencana Pembentukan Tim Pelaksana Pengembangan Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) Pangan.

Pertemuan tersebut dihadiri Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas Nono Rusono, Staf Khusus Komisaris Pertamina Ariwibowo Suprajitno Adhi, serta perwakilan Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran Achmad Firman.

Usulan BUMR Pangan itu berangkat dari masalah pangan nasional saat ini, yaitu pengendalian inflasi yang hanya didekati dengan kebijakan moneter, padahal masalahnya ada pada supply chain dan distribusi.

Pemerintah belum mampu mengendalikan stok fisik dan supply chain komoditi pangan strategis. Bulog yang berfungsi sebagai stabilisator pangan juga belum siap menjadi mitra industri.

Di samping itu, harga pangan masih dikendalikan mafia pangan, khususnya untuk komoditi beras, juga belum tersedianya database supply chain pangan pangan secara real time, akurat dan terpusat. Untuk itu, disusunlah rencana untuk menghadapi masalah-masalah tersebut dengan jalan mendirikan BUMR, yang merupakan sebuah upaya mengkorporatisas kekuatan petani yang besar.

“BUMR adalah suatu model yang sudah dikembangkan di Sukabumi dan ternyata hasilnya sangat baik untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani. Model ini diharapkan bisa direplikasi di lokasi-lokasi lain, sehingga dapat mendukung program ketahanan pangan Pemerintah, dengan meningkatkan kapasitas produksi pangan dalam negeri, sekaligus kesejahteraan petani dan para pelaku usaha pangan,” ujar Nono Rusono.

Kemunculan BUMR dilandasi oleh adanya masalah krisis ekonomi dan indeks gini yang terus meningkat dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. Peran Bappenas dalam hal ini adalah melakukan perencanaan tiga tahun (2017-2019) terkait program nasional ketahanan pangan berbasis BUMR untuk duplikasi dan pengembangan prototype yang sudah berjalan.

Dalam rapat ini disarankan lead-nya ada di Badan Ketahanan Pangan yang akan ditingkatkan menjadi Badan Pangan Nasional, dan diharapkan program BUMR menjadi program utama.

Untuk itu, tugas pokok Tim Pelaksana Pengembangan BUMR Pangan adalah melaksanakan kajian pengembangan prototype BUMR Pangan, menyusun perencanaan anggaran program pengembangan BUMR Pangan Tahun 2017-2019 dalam rangka menuju swasembada beras, serta melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program pengembangan BUMR Pangan.

Ke depan, ada lima agenda yang harus dikerjakan terkait pembentukan tim, permodalan, prototype dari klaster awal, tenaga penyuluh dan penguatan kelembagaan.

“Tantangan yang paling berat adalah dalam hal koordinasi, yaitu bagaimana mengintegrasikan semua sumber daya yang ada, termasuk integrasi multisektor, bukan hanya di satu Kementerian, tetapi kerjasama dengan Kementerian lain terkait, seperti Kementerian Ristek dan Dikti. Tidak bisa hanya Kementerian Pertanian saja,” ujar Nono.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan