aktual com-Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad, bersama tokoh muda pengusaha Melayu, Megat Rury Afriansyah, bersepakat terus memperjuangkan warga korban penggusuran dan alih lahan.

Termasuk warga masyarakat Melayu yang dewasa ini semakin dibebani dengan berbagai masalah. Penduduk setempat yang telah bermukim di Rempang turun temurun serta nasib saudagar Melayu dalam kasus perobohan Hotel Purajaya.

Kesepahaman itu dicapai sejak beberapa bulan terakhir, setelah mempertimbangkan sikap pemerintah daerah yang tercermin melalui sikap Wali Kota Batam yang sekaligus sebagai Ex Officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Menurut Gerisman, Pemerintah Kota Batam  sekaligus Kepala BP Batam tidak bergeming dengan permintaan warga nelayan sebagai pemilik tanah Melayu atas penguasaan tanah di Rempang untuk kepentingan pengusaha dan kepentingan investasi asing.

Menurutnya, penguasaan tanah di Pulau Rempang dan Pulau Galang adalah sebuah penjajahan modern seperti halnya kolonialisme dan imperialisme di zaman Belanda, menguasai tanah hingga 17.000 hektar dengan memindahkan penduduk asli dari 16 kampung.

“Kami telah menyatu dengan alam tempat kami tinggal, seperti pantai, lahan pertanian, perkebunan serta tambak dan peternakan. Mengapa tanah kosong di luar tempat tinggal kami yang diambil, begitu luasnya tanah. Kenapa harus mengusir kami dari tempat tinggal,” papar Gerisman Ahmad kepada wartawan baru-baru ini.

Penguasaan tanah oleh satu perusahaan (PT Makmur Elok Graha/MEG) dinilai sebagai penjajahan gaya baru, di mana seseorang menguasai belasan ribu hektar tanah yang mencakup luas dua pulau.

Karena itu, menurut Gerisman, warga masyarakat tradisional, khususnya para nelayan dan petani turun-temurun di Rempang, yang pada umumnya suku bangsa Melayu, akan terus berjuang untuk mempertahankan hak hidup mereka.

Sama halnya dengan saudagar Melayu yang saat ini sedang merasa teraniaya oleh kebijakan pemerintah pusat melalui kebijakan pemerintah daerah. Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam Muhammad Rudi (Periode September 2019 s.d Februari 2025) telah mengukuhkan kepemilikan PT MEG atas seluruh tanah di Pulau Rempang dan sebagian tanah di Pulau Galang.

Kebijakan yang dulu diberikan oleh mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir, yang seharusnya telah kadaluarsa, tetapi diaktifkan kembali oleh Muhammad Rudi.

Pada era yang sama (2019-2025), Ketua Saudagar Rumpun Melayu (SRM), Rury Afriansyah mengalami pengalaman pahit kehilangan aset bernilai ratusan miliar yang diduga atas kebijakan BP Batam di era Rudi, bersama konsorsium Kelompok Usaha Pasifik (Pasifik Group), mengambil-alih 10 hektar lahan milik PT Dani Tasha Lestari (DTL) yang di dalamnya ada hotel bertaraf internasional, yakni Hotel Purajaya.

”Kami memiliki nestapa yang sama (dengan warga Rempang), yakni hak azasi dan hak dasar atas tanah, di mana di atas tanah milik bangsa Melayu, yang seharusnya menjadi pengelola yang sah di negeri Melayu, tanah bertuah Kepulauan Riau, justru dirampas dengan sewenang-sewenang, dirobohkan tanpa dasar hukum,” kata Rury kepada wartawan di Batam, Rabu 24 Juni 2025.

Bahkan, kata Rury, pemerintah saat ini malah membiarkan peristiwa itu terjadi. Setelah ada pergantian pejabat, bukannya ada pemulihan (recovery) atas kerugian, tetapi justru  pembiaran dan sikap masa bodoh.

Atas dasar berbagai masalah yang menindas bangsa Melayu di Kepri itulah, kata Rury, pihaknya sepakat bersama Gerisman Ahmad akan melakukan berbagai upaya menegakkan hak dan martabat warga masyarakat adat.

”Sudah terlalu lelah berjuang dan berharap pemerintah akan membela rakyat, terutama kami sebagai pemangku adat Melayu di Kepulauan Riau yang semestinya diberi hak-hak istimewa sebagai pewaris negeri Melayu, tetapi pada kenyataannya pemerintah tidak memiliki itikad baik membela rakyatnya, dan rakyat yang harus bertindak membela haknya,” kata Rury.

Sebagaimana diketahui, PT DTL memiliki 2 persil alokasi lahan, pertama untuk 10 hektar lahan yang digunakan pengelola untuk membangun hotel dan kedua seluas 20 hektar yang dibangun untuk gedung mess, gardu listrik dan bangunan lain penunjang hotel.

Seluas 10 hektar lahan pertama telah diberikan kepada PT PEP dengan proses cepat hanya 2 minggu, dan dalam tempo 5 bulan kemudian, gedung hotel mewah di atasnya dirobohkan dengan pengawalan 500 personil Tim Terpadu (Satpol PP, Direktorat Pengamanan BP Batam, Polisi, TNI AL, AD dan AU).

Persil 20 hektar belum diketahui diserahkan kepada siapa, namun faktanya dikuasai oleh PT PEP. Pencabutan alokasi lahan 10 hektar didasarkan BP Batam atas presentasi rencana bisnis PT DTL yang tidak menarik, dan pencabutan 20 hektar karena dituding tidak ada bangunan seperti hotel di atas lahan, meski ada sederet lagi secara pariwisata.

“Kami melakukan presentasi sekitar 2-3 kali untuk perpanjangan masa alokasi lahan, lalu ditolak dengan alasan tidak menarik,” kata Rury. ***