Menteri ESDM Sudirman Said (kiri) berdiskusi dengan Dirut PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto (kanan) saat memaparkan hasil rapat terbatas membahas penetapan harga BBM di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (30/3). Pemerintah menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar turun masing-masing Rp500 per liter per 1 April 2016, premium menjadi Rp6.450 per liter, solar menjadi Rp5.150 per liter berlaku hingga September 2016, penetapan tersebut akan diikuti penurunan tarif angkutan publik. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Kendati masih dalam pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), namun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said menolak jika dalam revisi Undang-Undang Migas menggabungkan Satuan Kerja Khsusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ke dalam manajemen PT Pertamina.

Bahkan sebaliknya Sudirman menginginkan SKK Migas menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus yang berada dibawah kementerian teknis.

“Kalau konsep pemerintah, SKK Migas ingin dijadikan BUMN Khusus, jelas ada komisaris, ada direksi. Kekhususannya adalah keberadaannya di bawah Kementerian teknis. Karena memang tidak bisa diukur dengan ukuran operasi pada umumnya,” kata Sudirman, Rabu (8/6).

Dia menambahkan bahwa pihaknya dari Kementerian ESDM telah menyampaikan kepada DPR atas keinginan itu. Dia juga mengaku terus memantau perkembangan pembahasan di DPR.

“Kita sudah menyampaikan poin-poin subtansi pada DPR, oleh karenanya kita tunggu jadwal dari pembahasan ini dari DPR. Tentu kita akan terus memantau,” pungkasnya.

Namun keinginan sudirman tersebut berbanding terbalik dengan apa yang disuarakan oleh Anggota DPR Komisi VII, Kurtubi yang menginginkan keberadaan SKK Migas dibubarkan, sedangkan peran dan fungsinya digabung dalam Pertamina.

“SKK Migas digabung dengan Pertamina sehingga kontrol lebih kuat. Pertamina nati dijadikan national oil company, tidak lagi ditangan seorang Menteri,” katanya pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PT Pertamina (Persero) di ruang Komisi VII DPR-RI Senayan Jakarta, Selasa (19/4).

Sedangkan pengamat dari Petromine Watch Indonesia menilai bahwa RUU tesebut semakin mengacaukan sitem pengelolaan migas nasional. salah satu hal yang paling krusial dari RUU tersebut yakni mengenai keinginan pemerintah untuk membentuk sedikitnya 4 BUMN Migas.

“Nanti SKK migas diubah menjadi BUMN khusus, BPH migas diubah menjadi BUMN hilir mengenai ketahanan energi, kemudian sisanya dibentuk BUMN baru untuk bidang pengelolaan dan pendistribusian gas, serta BUMN yang mendistribusikan minyak. sedangkan PGN bertrasformasi menjadi BUMN yang mengelola kegiatan hilir gas ” kata Direktur Eksekutif Petromine Watch Indonesia, Zulhendri di Jakarta, Kamis (17/3).

Zulhendri mengkhawatirkan bahwa hal itu nantinya akan membebani keuangan negara karena negara akan mengeluarkan dana dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) untuk menjalankan BUM yang ‘masih bayi’ tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka