Semarang, Aktual.com —  Ulama dan tokoh agama menolak kebijakan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dalam surat edaran nomor 420/006752/2015 tentang lima hari sekolah bagi pendidikan formal. Mereka beralasan peserta didik akan sedikit mendapat pendidikan agama di sekolah formal.

Halqoh Ulama, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI; Asosisasi Pesantren) NU Jateng, KH Abdul Ghoffar Rozien secara tegas menolak kebijakan tersebut. Ia menyatakan, keputusan gubernur Jateng tersebut tidak didasari studi dan kajian yang memadai, sehingga tidak mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Jateng.

“Kebijakan sekolah lima hari akan merusak budaya religi yang telah tertanam kuat di masyarakat Jateng. Budaya religi masyarakat Jateng adalah bercorak pedesaan dan mayoritas masih peduli pada moralitas anak-anaknya,” ujar dia di Semarang, Sabtu (28/11).

Menurutnya, peserta didik minim mendapat pendidikan agama dan moral. Dengan begitu, banyak memasukkan anaknya ke madrasah diniyah atau Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) di sore hari. Bahkan banyak yang mendorong anaknya mengaji di pesantren sejak sore hingga malam hari, meski tidak mondok 24 jam di pesantren.

“Kesempatan memperoleh pendidikan agama dan moral adalah hak konstitusional. Peserta didik yang selama ini tidak pernah bisa dipenuhi negara melalui sistem pendidikan nasionalnya,” beber dia.

Para utusan MUI daerah mendorong MUI Jateng agar bersikap tegas menolak kebijakan tersebut atas pertimbangan kemaslahatan umat.

Disebutkannya, alasan Ganjar Pranowo yang mengatakan akan meningkatkan kualitas hubungan orang tua dan anak di hari Sabtu dan Minggu, tidak bisa diterima nalar karena mayoritas orang tua di Jateng masih beraktivitas di hari Sabtu dan Minggu.

“Marilah jujur, para siswa sekolah kita itu semakin banyak yang rusak moralnya. Miris kita kalau mengetahui di setiap malam Valentine Day, semua apotek dan toko kehabisan stok kondom,” tuturnya.

Lebih lanjut ditambahkan, argumen paling banyak disampaikan adalah Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin)dan TPQ yang telah ada puluhan tahun, bahkan sudah ada sejak Islam masuk Indonesia, akan tutup karena tiada kesempatan anak-anak mengenyam pendidikan agama di sore hari di lembaga pendidikan keagamaan tersebut.

“Madin dan TPQ akan gulung tikar. Bukan soal tutupnya yang menyedihkan, tapi tiadanya kesempatan anak-anak kita mendapat pendidikan moral agama. Mau jadi apa mereka nanti?,” tutur dia.

Disebutkan Rozin, satu-satunya benteng moral masyarakat adalah pendidikan agama, dan itu didapat secara maksimal di Madin dan pesantren. Dan umumnya diselenggarakan pada sore hari. Pemberlakukan surat edaran gubernut, jelas dia, telah mengancam keberlangsungan lebihd ari 11 ribu madrasah diniyyah di Jateng, dengan 800 ribu santri dan 80 pengajarnya.

Pengasuh Ponpes Maslakul Huda Kajen Pati ini menegaskan, libur sekolah di hari Sabtu dan Minggu, perlu ditimbang lagi manfaat dan mudharat (kerugian) nya. Jika tidak diisi dengan kegiatan produktif, maka tidak ada manfaatnya. Kebijakan tersebut hanya cocok jika diterapkan di kota Metropolitan semisal Jakarta

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby