Sidang lanjutan ini beragenda mendengarkan saksi ahli,Uji materi ini berkaitan dengan pembentukan pansus hak angket KPK dan beberapa ahli dihadirkan di antaranya Pakar Hukum Acara Pidana Arif Setiawan dan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun sebagai ahli dari KPK, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan sebagai saksi ahli dari Pemerintah. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah keliru memaknai perluasan tentang asusila dalam pasal 284, 285 dan 292 KUHP.

Menurut dia, pengertian zina, kumpul kebo atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) bukan gagasan baru. Bahkan mereka yang berhubungan sex yang tidak terikat perkawinan pun bukan konsep baru.

“MK gagal paham dengan memandang hal ini sebagai gagasan ‘pembaharuan’ yang menjadi domain postive legislator,” ujar Chairul dalam pesan tertulisnya dikutip Aktual.com, Selasa (18/12).

Justru hal itu, lanjut dia, merupakan gagasan yang sebenarnya tentang rasa kesusilaan, dan menjadi cita-cita hukum bangsa Indonesia yang telah dikebiri oleh ideologi liberal ketika Belanda memberlakukan ‘Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie’ (WvSNI) di negara kita.

Sehingga, penasehat ahli Kapolri sejak era Jenderal BHD hingga Tito Karnavian itu mengatakan bahwa konstitusi Indonesia dengan idiologi negara Pancasila yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (YME), merupakan sarana yang paling ampuh mengembalikan makna delik-delik tersebut bukan sebaliknya.

“Sepertinya 5 hakim MK yang menolak permohonan Judicial Review (JR) baru-baru ini mesti belajar tentang asas legalitas dengan benar,” tegas dosen berkacamata ini menambahkan.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan uji materi perluasan makna asusila dalam pasal 284, 285 dan 292 KUHP. Pengujian mengenai Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) itu, diajukan Guru Besar IPB Euis Sunarti.

“Menolak permohonan dari pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Arief Hidayat saat membacakan putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12).

Penolakan lantaran majelis menilai lembaga penguji undang-undang tidak berwenang untuk merumuskan tindak pidana baru, sebab kewenangan dimaksud sepenuhnya ada di tangan Presiden dan DPR.

Fadlan Syiam Butho