Ada sekitar 370 Kepala Keluarga (KK) yang masih bertahan di lokasi penggusuran. Mereka juga bahu membahu merapikan musholla sebagai sarana ibadah warga, meskipun di sekitar lokasi masih berdiri dengan kokoh Masjid Luar Batang.
Jakarta, Aktual.com – Ketua Wilayah Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) DKI Jakarta Rio A Putra menyatakan Pemerintah DKI Jakarta terus menunjukkan sikapnya mendukung pengggusuran terhadap kaum miskin kota, alih-alih menata dan memberdayakan rakyat kecil.
Hal tersebut tampak dari Surat Peringatan (SP) ke-3 yang dikeluarkan kepada warga Kampung Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Melalui surat tersebut, warga diperingatkan untuk segera pergi dari kediamannya saat ini, atau akan digusur seminggu kemudian.
Alasan pemerintah DKI Jakarta menggusur para warga masih sama dengan penggusuran sebelumnya, yaitu untuk normalisasi Kali Ciliwung. Meski demikian, upaya tersebut tidak pernah dibicarakan dengan warga sehingga melibatkan partisipasi warga. Padahal warga sudah tinggal puluhan tahun di tempat tersebut.
“Jalan yang diambil justru menggusur warga tanpa solusi yang adil. Meskipun Pemerintah menyebutnya ini bukan penggusuran, tetapi sebagai ‘relokasi’. Pada dasarnya itu bukan solusi untuk para warga,” tegas Rio dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/9).
Diungkapkan, pada penggusuran sebelumnya tidak semua warga yang tergusur mendapatkan rumah susun (Rusun). Bagi warga yang mendapatkan rusun hanya gratis tiga bulan pertama, selanjutnya warga diwajibkan membayar rusun setiap bulan.
Bila mereka tidak sanggup membayar sewa maka ‘terpaksa’ terusir dari rusun. Hal tersebut ditambah dengan keterbatasan akses untuk pekerjaan warga sehingga membuat warga yang tergusur semakin sulit dalam kehidupannya.
“Warga menolak SP, itu karena pemberian SP tersebut dilakukan saat proses hukum atas gugatan warga kepada Pemerintah sedang berjalan,” kata Rio.
Proses hukum dimaksud dengan dilayangkannya gugatan warga Bukit Duri terhadap kebijakan pemerintah yang menggusur mereka melalui gugatan Class Action ke Pengadilan Jakarta Pusat dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Dengan pemberian SP-3 ini, secara jelas Pemerintah DKI Jakarta tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” tambahnya.(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid