Jakarta, Aktual.com – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang menyebut akan segera merampungkan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN), perlu dipertanyakan urgensinya, apalagi hingga saat ini payung hukum untuk membentuk DKN belum ada.
Jika memperhatikan fungsi DKN sebagaimana digambarkan oleh Wiranto, maka DKN ini tidak jauh berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsoliasi (KKR) yang dahulu cikal bakalnya sempat dibentuk dengan UU No. 27 Tahun 2004 Tentang KKR.
Namum karena UU ini baru dua tahun berlaku, akhirnya dibatalkan oleh MK melalui putusan yang dinilai kontroversial karena bersifat ultra petita.
Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus dalam keterangan tertulisnya kepada Aktual, Senin (23/7).
“Ide Menko Polhukam Wiranto untuk membentuk DKN, patut dipertanyakan, karena landasan UU yang menjadi payung hukumnya belum ada dan itu butuh waktu lama, sehingga pertanyaannya adalah apa urgensinya dan mau dibawa ke mana DKN ini,” kata Petrus.
Petrus pun mempertanyakan potensi konflik sosial yang akan muncul di tengah masyarakat di berbagai daerah, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional.
“Apakah pranata hukum, pranata sosial dan aparat penegak hukum berada dalam kondisi tidak berdaya sehingga dikhawatirkan akan timbul keadaan anomali dan konflik sosial,” tanya Petrus dengan lugas.
Pada sejumlah pemberitaan, menurut Selestinus, Wiranto menyatakan pembentukan DKN, untuk menghidupkan kembali fungsi Lembaga Adat dan Hukum Adat sudah tidak berfungsi lagi.
Menurutnya, pembentukan DKN bukanlah langkah yang tepat karena hukum adat dan lembaga adat di setiap desa atau daerah masih berlaku efektif hingga sekarang.
“Meski tidak ada perhatian dari Pemerintah, akan tetapi dalam berbagai persoalan masyarakat desa, lembaga adat selalu tampil dengan prinsip musyawarah dan semangat akomodatifnya mampu menyelesaikan persoalan masyarakat,” jelasnya.
Dengan demikian membentuk DKN, menurut Petrus, berpotensi merusak hukum adat dan lembaga adat, yang sangat heterogen. Terlebih, hukum adat sudah diperkuat dengan UU Desa, selain juga UUD 45.
Petrus juga menilai ide membentuk DKN ini tidak sejalan dengan visi Nawacita Jokowi-JK bidang pembangunan budaya, yaitu untuk memperteguh kebinekaan dan menciptakan ruang dialog antarwarga sehingga bisa mengembalikan roh kerukunan antarwarga sesuai dengan jiwa konstitusi dan semangat Pancasila 1 Juni 1945.
Menurutnya, pilihan Wiranto membentuk DKN merupakan sebuah kekeliruan dalam mendiagnosa realitas sosial di tengah masyarakat, mengingat lembaga yang dikehendaki oleh program Nawacita bukanlah DKN melainkan ‘Lembaga Kebudayaan’ sebagai basis pembangunan budaya, karakter bangsa, kepedulian sosial, dan melindungi lembaga-lembaga adat di tingkat lokal yang memang membutuhkan uluran tangan pemerintah.
Ia menjelaskan UU Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial adalah merupakan hukum positif yang berfungsi melakukan pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pasca konflik.
Inilah landasan hukum sekaligus payung hukum untuk menyelesaikan masalah konflik sosial yang muncul di tengah masyarakat baik untuk skala Kabupaten/Kota, skala Provinsi, dan skala Nasional yang tanggung jawabnya secara berjenjang sesuai dengan skala konflik yang terjadi.
Dalam hal konflik sosial yang terjadi itu berskala nasioal, maka tanggung jawab terletak di tangan Presiden, dimana Presiden akan menunjuk Kementerian yang membidangi koordinasi urusan Polhukam sebagai koordinator dengan melibatkan Menteri dan Pimpinan Lembaga terkait.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan