Meski begitu, sistem FTA yang bilateral tidak selamanya jadi solusi paling baik. Susunan koalisi dalam FTA justru seringkali didasari oleh diplomasi strategis, alih-alih motivasi ekonomi. Sehingga, kerja sama yang terbentuk melibatkan negara-negara dengan volume dagang yang begitu kecil, contohnya AS-Maroko atau Tiongkok-Islandia.

Untuk menjembatani pro-kontra di antara dua bentuk kerja sama dagang multilateral dan bilateral, muncullah FTA alternatif yang hibrid berwujud mega-regional FTA. Diantaranya adalah TPP dan Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP.

TPP disebut-sebut sebagai solusi bergaya Amerika, beranggotakan 12 negara yang terpusat pada AS, Jepang, Australia dan negara-negara ASEAN, kecuali Tiongkok. TPP dianggap mampu memperbaiki persoalan kualitas di balik FTA yang sifatnya bilateral.

Kritik atas FTA memang beragam, mulai dari tidak transparan dan tidak terbuka, hingga rendahnya posisi tawar negara-negara berkembang. Karena dilakukan dengan negosiasi tertutup, FTA seringkali tidak melibatkan bahkan mengeksklusi negara-negara yang dipandang kurang strategis untuk dijadikan sekutu dagang.

Di lain sisi, RCEP adalah perjanjian dagang yang berupaya menyatukan negara ASEAN dengan Jepang, Korea, Tiongkok, Australia, Selandia Baru, India, tanpa Amerika Serikat. Apabila TPP bergaya Amerika, maka RCEP adalah solusi dari ASEAN dan Tiongkok. Berfokus untuk me-multilateral-kan ‘sistem mangkuk mie’ dengan mengutamakan integrasi dari pada liberalisasi. Setelah AS keluar dari TPP, RCEP menjadi jalan keluar yang paling memungkinkan.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Andy Abdul Hamid