Perbandingan kedua sistem perdagangan regional ini pun berbeda, dengan masing-masing karakteristik kunci yang saling berlawanan satu sama lain.

Meski begitu, keduanya berdiri di bawah bayang-bayang rivalitas geopolitik antara AS dan Tiongkok. Seperti yang disebutkan sebelumnya, TPP adalah bagian dari pivot AS di kawasan Asia, sedangkan RCEP bisa dimaknai sebagai respon tandingan Tiongkok. Sementara, negara-negara pihak ketiga yang tergabung di salah satunya berarti tengah menunjukkan sikap loyalitasnya.

Terlepas dari hal tersebut, TPP diprediksi akan mengalami malfungsi pasca-mangkatnya AS. Pasalnya, hampir 62 persen perjanjian di TPP dibuat oleh AS. Sistem penggantian keanggotaan AS di TPP juga belum terpecahkan hingga saat ini.

Di lain sisi, RCEP mendapatkan momentum untuk menampakkan taji, khususnya terhadap negara-negara Asia. Menanjaknya popularitas RCEP pun dibarengi keinginan Tiongkok menjadi tokoh utama alternatif selain AS. Xi Jinping bahkan menyatakan siap menjadi pemimpin bagi integrasi dan keterbukaan ekonomi dunia, sebuah pernyataan langka dari Tiongkok yang selama ini dikenal proteksionis.

Terakhir, akan ada pergeseran dalam arsitektur perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Gejala paling dekat bisa dirasakan melalui relasi bermotif ekonomi yang makin erat antara Indonesia dan Tiongkok. Tetapi, posisi Indonesia akan sedikit rumit lantaran AS masih berperan cukup besar dalam investasi modal asing di negeri ini.

Pergeseran ini merupakan konsekuensi nyata dari antagonisme atas pasar bebas di politik AS yang agaknya tidak akan menyurut dalam waktu dekat.

Dalam empat poin utama kampanyenya, Donald Trump sempat menyatakan tidak akan menjalin FTA kecuali dengan negara-negara yang mendatangkan surplus bagi AS. Prioritas tersebut jelas akan menutup pintu AS bagi perdagangan bebas, sekaligus memperbesar kemungkin terpantiknya perang dagang antara AS dan Tiongkok yang jelas akan berpengaruh seantero Asia.

***

Sumber: Institute of Internasional Studies (IIS) UGM – Kajian Dr. Jeffrey Wilson, periset Asia dari Murdoch University, dalam seminar akademis bertajuk ‘The Changing Architecture of the Asia-Pacific Trade System: The TPP, The Trump Shock and The RECP’

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Andy Abdul Hamid