Jakarta, Aktual.com — Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Uni Eropa dalam sepekan kemarin ternyata ditutup dengan sebuah kesepakatan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA).
FTA yang disebut Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) itu dianggap belum menguntungkan Indonesia, justru hanya menjadi pasar besar Uni Eropa.
Untuk itu, anggota Kaukus Perempuan Parlamen Indonesia (KPP-RI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Gerakan Ekonomi Solidaritas Indonesia (GESOLIN) secara tegas menolak FTA tersebut.
“Karena di bawah Jokowi ini semakin masif untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia. Padahal dampak negatif dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terhadap petani, nelayan, buruh, perempuan, dan pelaku usaha mikro, belum dijawab secara kongkrit oleh Pemerintah Indonesia,” tegas Koordinator Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti dalam siaran pers, Senin (25/4).
Untuk itu pihaknya perlu mengkritisi antara lain, belum ada strategi perlindungan untuk petani, nelayan, buruh, perempuan, dan pelaku usaha mikro dalam menghadapi pasar bebas.
Indonesia-EU CEPA merupakan salah satu FTA yang akan dinegosiasikan oleh Pemerintah Indonesia setelah MEA dan berbagai FTA bilateral seperti Indonesia-China, Indonesia-Jepang, Indonesia-Australia, dan sebagainya.
“Namun, hingga saat ini seolah-olah rakyat Indonesia dipaksa untuk menghadapi agenda pasar bebas sendirian tanpa ada kebijakan perlindungan dari negara yang disusun secara konkrit dan bisa menjawab kebutuhan rakyat,” tegasnya.
Luluk Hamidah dari Maju Perempuan Indonesia (MPI) menambahkan, FTA selama ini juga telah mengancam kedaulatan negara. Karena dengan adanya larangan monopoli dari BUMN dalam Indonesia-EU CEPA dan Perjanjian TPP telah berpotensi terhadap hilangnya kedaulatan negara atas sektor-sektor ekonomi strategis negara yang menguasai hajat hidup orang banyak.
“Hal ini tentunya telah bertentangan dengan Pasal 33 UUD RI 1945,” cetus dia.
Selain itu, lanjut dia, ketentuan mekanisme penyelesaian sengketa antara Investor dengan Negara, berdampak terhadap Policy Space yang dimiliki oleh Negara.
Sehingga, kata dia, fungsi negara dalam membuat kebijakan untuk melindungi kepentingan publik dan melindungi hak-hak rakyat menjadi “tersandera”.
“Maka yang ada kedaulatan negara telah hilang di atas kepentingan investasi asing,” tegas dia.
Dari potensi ancaman serta belum maksimalnya Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan atas potensi dampak buruk FTA terhadap rakyat, maka KPP-RI, MPI, IGJ dan GESOLIN berpandangan bahwa proses negosiasi FTA haruslah memberikan ruang keterlibatan publik lebih luas, khususnya keterlibatan Parlemen.
“Sehingga proses demokrasi dalam pengambilan keputusan politik Negara terkait diplomasi ekonomi internasional tetap terjaga,” ungkap dia.
Untuk itu, seharusnya pemerintah terlebih dahulu menyusun langkah-langkah pencegahan dampak buruk FTA terhadap kehidupan rakyat dengan memasukkan ataupun membawa klausul-klausul yang memberikan perlindungan kepada publik.
Selama ini, lanjut dia, negosiasi FTA tidak pernah dibarengi dengan proses assessment terhadap konstitusi ataupun assessment terhadap potensi pelanggaran HAM.
Padahal assessment ini penting karena akan memberikan gambaran jelas mengenai strategi perlindungan yang harus diambil oleh Pemerintah dalam proses negosiasi FTA.
“Dengan begitu, pemusatan negosiasi FTA bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata, tetapi juga memasukkan agenda pemenuhan hak sosial dan ekonomi rakyat dalam negosisasi,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan