Ambon, Aktual.com – Berbagai tradisi Maluku yang sudah hampir menghilang, akan kembali dihadirkan dalam kegiatan budaya Festival Duurstede yang direncanakan digelar di Desa Saparua, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, pada 21 – 23 September 2015.
“Festival ini memang tujuan utamanya adalah untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi kita di Maluku yang sekarang ini sudah mulai menghilang, bahkan banyak dari generasi muda kita mungkin tahu tapi tidak bisa melakukannya,” kata Ketua Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) Maluku Butje Tomaluweng di Ambon, Selasa (30/6).
Ia mengatakan sesuai dengan namanya, Festival Duurstede yang digagas oleh Yayasan Ambonesia, Komunitas M-Tree, PAPPRI Maluku, dan Wonderful Indonesia, akan digelar di sekitar lokasi berdirinya benteng yang menyimpan kisah sejarah perang Pattimura, Benteng Duurstede.
Dalam kegiatan itu akan dilaksanakan bermacam-macam lomba dari yang berakar dari tradisi dan kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku, di antaranya mengayam keranjang tempat mengumpulkan hasil panen cengkih dan pala yang dikenal dengan istilah kamboti, dan lomba bale papeda atau memasak papeda, makanan khas Maluku yang dibuat dari tepung sagu.
Meski terkesan mudah, kata Butje lagi, tidak semua orang dapat melakukannya, apalagi anak muda Maluku yang hidup di perkotaan.
Ia mencontohkan, lomba bale papeda misalnya, walau hanya diseduh dengan air panas kemudian tepung sagu diaduk-aduk, tapi jika takaran air tidak sesuai, suhu air tidak di atas 100 derajat celcius dan proses mengaduk tidak tepat, maka tepung sagu tidak akan mengental dan tercampur dengan benar.
“Membuat papeda ada caranya, diaduk dan dibolak-balik pun harus menggunakan gata-gata (semacam alat penjepit untuk menggoreng, dibuat dari bilah bambu yang dipotong halus kemudian dibelah menjadi dua bagian), bukan dengan sendok,” ucapnya.
Butje menambahkan lagi, selain perlombaan yang berakar dari kehidupan sehari-hari orang Maluku, pihaknya juga akan melombakan kesenian suling bulu (bambu) yang pada masa lampau digunakan dalam upacara-upacara adat maupun ibadah di gereja, namun sudah saat ini tidak ada lagi.
“Dulu sebelum terompet, saksofon dan alat musik semacamnya masuk ke Maluku, suling bambu sangat populer digunakan dalam berbagai upacara, tapi kemudian diganti dan sudah tidak digunakan lagi hingga saat ini,” ucapnya.
Artikel ini ditulis oleh: