Jakarta, Aktual.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, aksi fraud atau penyimpangan di sektor keuangan masih terus terjadi, sehingga jika tak ada pembenahan akan terus merugikan kalangan konsumen atau nasabah.
Apalagi saat ini, muncul produk-produk keuangan yang ditawarkan melalui financial technology (fintech). Hal ini tentu saja rentan terjadi aksi fraud sektor keuangan, mengingat fintech sendiri banyak diterbitkan oleh lembaga-lembaga di luar bank.
“Jika tak ada perlindungan konsumen, maka nasabah itu yang akan dirugikan. Apalagi dalam satu dekade ini, ketika terjadi gejolak keuangan, aspek perlindungan konsumen kerap diabaikan. Baik dari sisi kebijakan maupun tindakan,” tandas Kepala Eksekutif Pengawas Perlindungan Konsumen OJK, Kusumaningtuti S. Soetiono di Hotel Fairmont Jakarta, Kamis (17/11).
Menurutnya, beberapa kali krisis keuangan terjadi, baik krisis 1997/1998 maupun krisis 2008, masih terlihat pengingkaran terhadap perlindungan konsumen.
Kondisi itu, kata Titu sapaannya, telah menyebabkan dampak yang serius terhadap stabilitas keuangan dan ekonomi. Namun demikian, seiring majunya teknologi sistem keuangan, maka aspek perlindungan konsumen juga harus diperkuat.
“Saat ini, fintech tengah marak, hal ini memang positif terhadap laju inklusi keuangan. Namun aspek perlindungan konsumen tak bisa diabaikan. Prinsip itu harus dipatuhi oleh lembaga keuangan untuk merebut kepercayaan konsumen,” papar dia.
Menurutnya, berdasar survei Bank Dunia pada 2014 lalu menunjukkan, hanya sebanyak 62% dari orang dewasa memiliki rekening di lembaga keuangan formal. Sementara ada sekitar 2 miliar orang dewasa yang masih tak memiliki rekening bank. Dan setengah dari jumlah ini hidup di Asia Selatan, Asia Timur dan Pasifik.
Sementara survei literasi keuangan S & P pada tahun 2014 mengungkapkan, hanya sebanyak 38% dari orang dewasa yang memiliki rekening di lembaga keuangan. Ini terjadi karena mereka melek finansial.
Sedangkan terkait fintech, kata dia, sektor ini tak bisa dipisahkan dengan internet dan penetrasi telepon seluler di dunia. Internet telah membuat konektivitas dengan mudah antara business to people (B to P/bisnis ke orang), people to people (P to P/orang ke-orang), dan government to people (G to P/pemerintah ke orang).
“Dan saat ini, ada sebanyak 3,2 miliar orang yang terhubung ke internet. Dan ada sekitar 7 miliar oramg yang memiliki telepon seluler per 2015. Sehingga angka-angka itu menunjukkan pentingnya internet dan penggunanya bagi industri keuangan,” jelas Titu.
Karena, teknologi telah mengubah lanskap di industri keuangan. Makanya produk-produk perbankan marak dengan internet banking. Dan itu dalam ranah perbankan kompetitif untuk mencati pelanggan.
Menurutnya, produk e-banking EDC, ATM, SMS, dan telepon, berdasar data pada 2015, total nilai transaksinya mencapai sekitar US$590 miliar atau meningkat sekitar 10% dari 2014.
Untuk itu, kata dia, dengan potensi fintech yang besar itu, OJK akan menyusun pengaturan terkait sekaligus dalam aspek perlindungan kobsumennya. Meski begitu, regulasi ini harus memudahkan semua pelakunnya.
“Dengan demikian, kita terus berharap manajemen keuangan yang lebih baik, agar konsumen tak lagi dikorbankan. Apalagi saat ini sudah ditopang akses teknologi yang maju,” pungkas Titu.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan