Manado, Aktual.com – Tren rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) di sektor perbankan memang tengah meninggi. Beberapa sektor usaha, seperti sektor komoditas dan pertambangan dianggap penyumbang NPL tertinggi.
Jika hal itu terus terjadi, diperkirakan dapat menganggu laju investasi terutama dari sektor dwasta. Pasalnya, dunia usaha akan susah mendapat kucuran kredit, karena pihak perbankan sendiri akan jauh lebih hati-hati.
“Saat ini laju NPL industri sudah mencapai 3,2 persen. Ini cukup tinggi sekalipun masih di bawah 5 persen (batas maksimal dari otoritas perbankan),” papar Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Sam Ratulangi, di acara Economy Outlook Bank BJB, di Manado, Sabtu (17/12).
“Akan tetapi hal ini akan membuat perbankan selektif dalam menyalurkan kreditnya, karena cost of credit-nya sendiri juga jadi mahal,” tegas dia.
Jika perbankan tak mampu menekan laju NPL-nya, kata dia, maka akan susah meneruskan kelanjutan usaha. Sementara dari sisi debitur terutama kalangan dunia usaha dengan NPL tinggi akan menjadi tanda tanya besar kapan kredit itu akan dicairkan.
“Padahal kredit yang diajukan dunia usaha juga bisa berupa kredit investasi atau pun kredit modal kerja. Jika begitu terus, pada akhirnya laju investasi yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi bisa melambat,” terangnya.
Bahakan juga, kata dia, akan dapat berpengaruh langsung terhadap keberlangsungan proyek pemerintah, terutama proyek-proyek infrastruktur.
“Bayangkan kalau pengushaa akan susah mengambil kredit dan kalau dapat prosesnya lama, maka akan sangat merugiakan keberlangsungan usahanya,” cetus Herman.
Apalagi, kata dia, berdasar data yang dikumpulkan, akibat adanya perlambatan ekonomi dan sikap perbankan yang hati-hati, ternyata jumlah kredit yang tak digunakan (undisbursed loan) di perbankan mencapai Rp1,25 triliun.
“Angka itu (undisbursed loan) sangat tinggi. Dan sangat disayangkan,” cetusnya.
Meski begitu, dia sendiri memaklumi kondisi tersebut, sebab sektor komoditas seperti pertambangan masih anjpok harganya di tengah pelemahan ekonomi global ini.
“Sejauh ini harga komoditas belum gembira. Di tingkat global masih lesu dan mungkin akan berlanjut hingga tahun depan. Apalagi pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, ekonomi global semakin tinggi ketidakpastiannya,” papar dia.
Dia sendiri mencontohkan kondisi di Manado, yang sebetulnya terus bertumbuh laju investasinya, terutama untuk sektor infrastruktur seperti jalan tol.
“Namun masih ada keidakpastian yang besar ini. Sehingga ada risiko dari investasi yang tinggi. Ini jadi problem tersendiri,” pungkas Herman.
Berdasar data Bank Indonesia (BI), rasio NPL perbankan hingga Oktober 2016 telah mencapai 3,20 persen (gross) dan 1,50 persen (nett). Diklaim BI, angka NPL yang tinggi ini srbagai puncaknya, sehingga berpotensi menurun hingga akhir tahun ini.(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid