Monitor penunjuk tarif bunga deposito yang dipajang di salah satu sudut Kantor BNI Pusat, Jakarta, Senin (26/7). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan menahan suku bunga acuan BI (BI Rate) sebesar 6,5 persen, hal tersebut berpengaruh pada penurunan suku bunga perbankan, baik suku bunga deposito maupun suku bunga kredit. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Usai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump membacakan pidatonya, pasar mulai memperkirakan dampaknya ke banyak negara seperti Indonesia.

Apalagi, Trump juga memberi sinyal akan ada kenaikan suku bunga the Fed, atau Fed fund rate (FFR). Pasalnya, Trump berencana menaikkan belanja infrastruktur di pemerintahannya.

“Sehingga imbasnya inflasi di AS diprediksi akan naik, sehingga Fed rate dipastikan akan menaikkan tiga kali suku bunga acuannya di tahun 2017. Fed rate yang meningkat itu membuat dolar AS akan kuat sementara rupiah melemah,” papar ekonom INDEF, Bhima Yudistira Adhinegara, di Jakarta, Minggu (22/1).

Kondisi tersebut, kata dia, membuat dana asing dari Indonesia juga terancam keluar (capital outflow) dan pulang ke AS. Tentu hal itu tak baik, karena sekitar 38,8% surat utang dikuasai asing, jadi pasar keuangan dalam negeri sangat fragile (gamang).

“Dengan begitu, bunga surat utang pemerintah Indonesia jadi lebih mahal. Beban bunga bertambah apalagi di 2018 adalah puncak buyback atau pembayaran utang SBN (Surat Berharga Negara),” kata Bhima.

Bagi BI, dengan suku bunga FFR yang naik, regulator moneter itu akan menaikkan suku bunga BI-7 days Repo Rate menjadi 5-5,25%, dari posisi saat ini 4,75%. Hal itu untuk mengantisipasi gejolak kenaikan Fed rate dan fenomena Super Dolar.

“Lagi-lagi kondisi tersebut jugs tak terlalu baik. Karena efek berantai lainnya, inflasi dalam negeri akan tembus 4% lebih atau di atas asumsi APBN 2017. Itu menjadi alasan BI yang cenderung melakukan kebijakan pengetatan moneter,” jelas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka