Jakarta, Aktual.com – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menuding PT Perusahaan Gas Negara (PGN) melakukan praktik monopoli distribusi gas di Medan, Sumatera Utara dan melakukan penjualan dengan harga tak wajar.

KPPU menganggap PGN melanggar Pasal 17 Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Namun Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mementahkan tudingan KPPU tersebut, karena faktanya perusahaan yang menyelengarakan distribusi di Medan tersebut, tidak hanya PGN namun terdapat juga anak perusahaan PT Pertamina (Persero), yaitu Pertagas.

Bahkan Agus menantang KPPU untuk bisa membongkar praktik percaloan penjualan gas di Medan yang menyebabkan harga menjadi tidak wajar.

“Tidak ada monopoli. Itu tidak benar. Calo banyak di sana, bongkar saja,” kata Agus secara tertulis, Jumat (27/1)

Seperti diketahui, menurut KPPU, tingginya harga gas yang disebabkan monopoli PGN hinga USD 13,8 per MMBTU dalam bentuk gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dan USD 9,16 per MMBTU dalam bentuk gas pipa.

KPPU menuding PGN memanfaatkan posisi tawar yang lebih kuat dalam penyusunan dokumen kontrak yang tertuang dalam perjanjian jual beli gas (PJGB) sehingga memberatkan pelanggan. Padahal kalau menurut Agus, alokasi gas bumi di Medan dikuasai penuh oleh Pertamina bukan PGN.

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Di Medan, ada sekitar 45 industri besar yang membeli gas bumi sebesar USD 12,22 per MMBTU.

Berikut rincian harga gas di Industri khususnya di Medan:

Pertama, pasokan gas ke industri di Medan terbagi atas dua sumber yakni dari LNG dari Kilang LNG Bontang, Kalimantan Timur dan Sumut pipa gas dari Pertamina EP di Sumatera.

Untuk sumber pertama dari LNG Bontang, LNG tersebut merupakan alokasi gas yang ditetapkan Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk industri di Medan. Harganya USD 7,8 per MMBTU. Hampir 63 persen komposisi harga gas ke industri di Medan berasal dari harga gas di hulu. Artinya harga gas bumi ke industri sejak awal sudah mahal.

Kedua, LNG dari Bontang tersebut kemudian di regasifikasi di Terminal Regasifikasi Arun, Lhokseumawe, Aceh. Biaya proses regasifikasi atau menjadikan gas alam cair jadi gas bumi dikenakan USD 1,5 per MMBTU. Lalu ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yakni USD 0,15 per MMBTU, jadi total USD 1,65 per MMBTU.

Ketiga, gas bumi dari Terminal Regasifikasi Arun diangkut melalui pipa trasmisi Arun-Belawan milik PT Pertamina Gas (Pertagas) sepanjang 350 km. Pertagas mengenakan biaya angkut gas sebesar USD 2,53 per MMBTU dan ditambah PPN sebesar USD 0,25 per MMBTU, sehingga total USD 2,78 per MMBTU.

Keempat, setelah dari Pertagas, gas bumi tersebut harus melalui ‘keran’ perusahaan trader gas. Masalahnya perusahaan ini tidak memiliki fasilitas pipa sama sekali. Trader gas tak bermodal fasilitas ini memungut biaya margin sebesar USD 0,3 per MMBTU.

Lalu, trader gas tak bermodal ini mengenakan lagi biaya yang namanya Gross Heating Value (GHV) Losses sebesar USD 0,33 per MMBTU.

Tak cukup sampai disitu, trader gas tak bermodal ini juga mengenakan Own Used & Boil Off Gas (BOG) sebesar USD 0,65 per MMBTU serta Cost of Money sebesar USD 0,27 per MMBTU. Total, trader tak bermodal tersebut memungut USD 1,55 per MMBTU.

Lalu, sumber gas dari produksi Pertamina EP dikenakan USD 8,24 per MMBTU, kemudian diangkut melalui pipa transmisi gas bumi Pangkalan Susu-Wampu yang dikelola Pertaggas dengan biaya USD 0,92 per MMBTU termasuk pajak.

Dengan dua sumber gas tersebut di campur menjadi satu, lalu dibagi volume gas masing-masing pasokan, maka harga rata-rata gas bumi sebelum dibeli oleh PGN sebesar USD 10,87 per MMBTU. Kemudian oleh PGN diteruskan ke pelanggan industrinya dengan biaya yang dikenakan USD1,35 per MMBTU. Sehingga ujungnya industri-industri di Medan membeli gas bumi dengan harga USD 12,22 per MMBTU.

“Dari mana monopolinya?,” imbuh Agus.

Komisioner KPPU sendiri telah sepakat untuk menyidangkan dugaan tersebut pada tahun 2017 ini. PGN terancam sanksi denda bahkan open accses secara menyeluruh jaringan pipanya.

Lalu, Agus sendiri tidak setuju dilakukan open accses. Menurutnya, ketika open access dilakukan, malah semakin memperbanyak calo gas tak bermodal menjual ‘diatas kertas’.

“Pipa distribusi gas yang dibangun PGN dipakai sendiri. Dan dibangun pakai dana korporasi kok mau dibuka ke calo. Enak saja para traders,” tegas Agus.

 

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta