Willy menegaskan, Indonesia harus menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya, menurutnya Indonesia harus mencari cara agar Tiongkok berani semakin terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas.

“Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di China ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang,” tuturnya.

Ia menambahkan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya.

Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan Tiongkok juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan antara Beijing dengan negara bagian Tiongkok di wilayah barat ini.

“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan China. Hal ini dihadapi oleh pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi,” jelasnya.

Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, kata Willy, tidak bisa dilihat berdiri sendiri.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin