Jakarta, Aktual.com – Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo merombak jajaran menteri di Kabinet kerja. Perombakan kali ini diharapkan terus memacu kinerja pemerintahan melalui percepatan pembangunan ekonomi yang lebih kokoh. Dengan masuknya tiga menteri di sektor yang berkaitan dengan energi yakni Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan turut membawa harapan baru bagi pelaku industri migas dan industri mineral dan batubara (minerba).
“Publik mengharap Menteri ESDM yang baru bisa tuntas membereskan pengelolaan sektor energi dan minerba yang masih carut marut, serta meneruskan apa yang sudah dirintis oleh Menteri ESDM yang lama,” ujar Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman di Jakarta, Senin (1/8).
Menurutnya, saat ini Indonesia hampir mengalami defisit di seluruh sektor energi, baik migas dan energi pembangkit, sehingga tidak heran banyak daerah mengeluh ‘byar-pett’ listrik rumah tangga.
“Seperti minum obat, sehari bisa 3 kali. Menjadi aneh jika melihat daerah kaya sumber daya alam, namun kesulitan mendapat pasokan listrik dan gas LPG. Meskipun hal tersebut untuk kebutuhan mendasar bagi rakyatnya,” jelasnya.
Sehingga, lanjutnya, paradigma lama harus segera ditinggalkan. Sektor ESDM tidak boleh lagi berpikir sumber daya alam ini sebagai komiditi perdagangan, akan tetapi harusnya komoditi sebagai motor menggerakkan perekonomian.
“Kebijakan ekspor seharusnya menjadi ‘barang haram’, itupun kalau kita sudah sepakat bahwa kemandirian untuk ketahanan energi merupakan harga mati,” jelasnya.
Menurutnya, revisi UU Migas dan UU Minerba yang saat ini masih bergulir di DPR, harus dikawal ketat agar produknya benar untuk kedaulatan pengelolaan sumber daya alam sesuai maksud pasal 33 UUD 1945.
“UU Migas dan Minerba harus terus dikawal agar program hilirisasi sektor migas dan minerba konsisten dijalankan,” jelasnya.
Selain itu, sejak pemberlakuan UU Minerba nomor 4 tahun 2009, gairah industri pertambangan Tanah Air mengalami kelesuan. Ekspor bahan mentah mineral dilarang dan diwajibkan diolah terlebih dahulu di dalam negeri.
“Seluruh pengusaha pertambangan mau tidak mau harus membangun smelter, walapun faktanya dua operator tambang emas, yaitu PT freeport Indonesia dan PT Newmont yang sampai hari belum ada tanda tanda akan membangun smelter,” ujar Dewan Penasehat Asosiasi Nikel Indonesia, Herry Tousa.
Pada awalnya, kebijakan ini dianggap sangat heroik dengan dalil tidak lagi menjual bahan mentah ke luar negeri dengan harga relatif murah, tidak memberikan nilai tambah ekonomi yang dapat memberikan kontribusi besar bagi negara dan masyarakat disekitar wilayah tambang.
“Namun, membangun smelter ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan investasi sangat besar dan waktu cukup lama untuk membangun smelter. Di sinilah persoalan perlahan mengemuka. Tidak semua perusahaan pemilik tambang yang mampu membangun smelter,” jelasnya.
Alhasil, hanya perusahaan pemilik tambang berskala besar dan banyak modal yang tidak menemui kendala bila ingin membangun smelter. Sedangkan bagi perusahaan kecil, membangun smelter adalah sebuah malapetaka.
“Kenapa malapetaka? Sebab, perusahaan tambang kecil yang dilarang mengekspor bahan mentah tidak lagi punya pilihan kecuali menjual bahan mentah miliknya kepada perusahaan besar pemilik smelter,” ungkapnya.
Di saat yang sama, perusahaan berskala besar yang tentu saja sudah dan mampu membangun smelter justru mengambil kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pengumpulan pundi-pundi perusahaan raksasa itu pun dilakukan dengan cara yang kurang elegan.
Faktanya, terdapat beberapa perusahaan besar pemilik smelter yang dengan seenaknya saja menentukan harga beli bahan mentah. Jangan heran apabila pemilik Kuasa Pertambangan kecil hanya mampu memperoleh untung 1-2 dolar saja.
Menurutnya, perlakuan seperti itu banyak dialami pengusaha nikel. Bahkan, saat ini perusahaan pemilik smelter sekitar 90 persen dikuasai asing. Artinya, jika dulu dikatakan smelter dibutuhkan agar tidak lagi menjual tanah-air, sekarang kita sudah sama saja menjual negara. Buktinya, perusahaan pemilik smelter hanya menerima ore nikel dengan grade 1.95. Padahal, di setiap wilayah tambang, grade 1.95 paling banyak berkisar 5-7 persen.
“Lalu kemana lagi sisanya? Mau tidak mau tentu saja harus dijual kepada pemilik smelter dengan harga yang jauh lebih murah. Perlakuan seperti itu tentu saja lebih dzalim dari era penjajahan. Coba bandingkan dengan pasar di Tiongkok yang masih menerima grade 1.3 hingga grade 2, dibeli dengan harga yang cukup memadai,” ungkapnya.
Dirinya menjelaskan, secara sederhana di Indonesia, dibeli 20 dolar per metric ton sementara di Tiongkok bisa laku dijual 60 dolar. Maka yang diuntungkan adalah perusahaan pemilik smelter yang hampir seratus persen dikuasai modal asing.
“Masih ada harapan agar peristiwa menyedihkan itu tidak lagi berlanjut diera Menteri ESDM yang baru, yakni dengan melakukan standarisasi harga yang diatur oleh pemerintah,” jelasnya.
Dirinya mengharapkan Kementerian ESDM, Perindustrian, dan Perdagangan harus memberikan pilihan kepada pelaku tambang kecil.
“Dibutuhkan terobosan melalui pemberlakuan standarisasi harga bahan tambang guna mencegah praktek curang perusahaan berskala besar. Tentu saja, membuat terobosan seperti itu bukanlah persoalan sulit. Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, serta Menteri Perdagangan mau duduk bersama untuk merumuskan dasar hukumnya, yakni dengan menerbitkan Peraturan Menteri,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka