Jakarta, Aktual.com — Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia memberikan tujuh catatan terkait temuan adanya kecurangan fatal di Pilkada Serentak Halmahera Selatan, Maluku Utara. Girindra Sandino, caretaker KIPP Indonesia mengungkapkan poin-poin temuannya kepada Aktual.com, Minggu (27/12).
Pertama, dari hasil wawancara memang banyak terjadi kecurangan di sana, seperti money politics, mobilisasi pemilih fiktif dan lain-lain yang dilakukan para paslon. Namun yang paling fatal adalah pemalsuan dokumen C1 asli yang diunggah ke laman web Situng KPU RI.
Atas supervisi Tim Bawaslu RI yang kemudian panwas setempat dalam sidang pleno pertama merekomendasikan untuk menghentikan upload C1, karena merupakan pembohongan publik terhadap seluruh rakyat Indonesia yang melihat hasil situng KPU RI di Pilkada Kabupaten Halmahera selatan.
Kedua, jelas tindakan pemalsuan C1 yang dipaparkan di atas merupakan kejahatan pemilu/pilkada yang dapat dijerat oleh sanksi pidana pilkada maupun pidana umum. Di samping pelanggaran kode etik yang fatal.
Ketiga, dari paparan di atas, penyelenggara dan pemangku kepentingan terkait agar serius memperhatikan yang terjadi di sana. Khususnya mendesak KPU RI untuk menyelesaikan persoalan di Pilkada Halmahera Selatan, Maluku Utara, oleh karena penanggung jawab terakhir penyelenggaraan Pilkada berada dalam wewenang KPU. Juga untuk mencegah timbulnya potensi konflik horizontal di sana, bila tidak ditangani secara tepat dan cepat.
Keempat, kasus Pilkada Halsel harus menjadi bahan evaluasi Pilkada serentak ke depan, khususnya mengenai netralitas dan profesionalitas penyelenggara. Pola yang terjadi saat ini, adalah para oknum pelaku kontra-demokrasi langsung mengarahkan panahnya kepada penyelenggara di berbagai tingkatan untuk memenangkan pemilihan dengan berbagai cara, baik secara diam-diam maupun terang-terangan.
Kelima, mengenai penegakkan hukum Pilkada juga harus mendapat perhatian dari para petinggi negeri ini dan semua pihak yang peduli dengan keberlangsungan sistem demokrasi di Indonesia. Jangan Pilkada serentak yang memakan biaya mahal ini dijadikan ajang judi para elit politik.
Sementara rakyat pemegang kedaulatan tertinggi semakin termajinalisasi sebagai obyek mobilisasi dukungan politik melalui berbagai metode sosialisasi, cara-cara pembentukan opini publik serta teknik bujukan. Setelah rakyat berpartisipasi menggunakan hak pilih dan hasil pemungutan suara dihitung, tak jarang kemudian dimobilisasi untuk mengaktualisasikan ketidakpuasan politik atas hasil pilkada sebagaimana yang terjadi dalam berbagai kasus konflik pilkada.
Keenam, KIPP Indonesia menghimbau agar semua pihak menggunakan koridor hukum yang ada dalam pelbagai kasus pilkada serentak 2015. Misalnya mekanisme pelaporan dan pengaduan beberapa pelanggaran. Termasuk perselisihan hasil Pilkada serentak yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Ketujuh, KIPP Indonesia mencermati berbagai kasus di semua tahapan Pilkada serentak, bahwa memang harus dilakukan revisi UU Pilkada maupun UU Pemilu, dengan cermat, teliti, serta komprehensif yang melibatkan semua pihak, termasuk melibatkan penuh kalangan masyarakat sipil dalam pertarungan gagasan dan ide mengenai frame work Pilkada Serentak ke depan sebagai sarana pengejewantahan kedaulatan rakyat.
Selama ini pergulatan tentang Pilkada serentak hanya berkutat di senayan dan elit penyelenggara, akibatnya banyak yang luput dan menjelma menjadi berbagai persoalan pelik di setiap tahapan pilkada serentak 2015 ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu

















