Jakarta, Aktual.com – Rencana pemerintah untuk menarikan utang di tahun ini sepertinya masih tinggi jika dilihat dari target defisit di APBN 2017 yang mencapai 2,41 persen atau Rp330,2 triliun.
Menurut pengamat ekonomi politik dari Universitas Bung Karno (UBK), Salamuddin Daeng, dengan kondisi itu, membuat pemerintah akan terus melakukan kebijakan menumpuk utang. Padahal potensi gagal bayar di masa yang akan datang mungkin terjadi.
“Jadi, penumpukan utang secara terus menerus itu tentu mengandung risiko yang besar sekali di tengah kondisi kepercayaan pemberi utang terhadap pemerintah Indonesia terus menurun,” ungkap Salamuddin, di Jakarta, Jumat (13/1).
Dia menegaskan, berdasar data APBN Perubahan 2016 lalu, besarnya bunga utang sebesar Rp191,7 triliun. Sementara utang jatuh tempo dan buyback surat berharga negara mencapai Rp219,4 triliun. Dan, pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sejumlah Rp68,8 triliun.
“Sehingga, kewajiban pemerintah tahun ini lebih dari Rp479,9 triliun. Wajar jika Menkeu (Sri Mulyani) menyatakan bahwa utang baru Indonesia hanya cukup untuk membayar bunga dan cicilan saja. Jadi memang utang itu tak bermakna apa-apa terhadap peningkatan kualitas APBN,” cetus dia.
Sampai kuartal III-2016, kata dia, utang pemerintah baik dari dalam negeri (Surat Utang Negara/SUN) maupun dari luar negeri mencapai Rp455,51 triliun lebih. Sementara rencana pemerintah hingga akhir tahun 2016 lalu mencapai Rp725 triliun dalam tahun 2016.
“Ini adalah peningkatan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah utang pemerintah. Jumlah ini sudah melebihi batas defisit dalam APBN 2016. Mestinya pemerintah harus lebih efektif dalam menggenjot penerimaan negara, agar tidak terus menumpuk utang,” jelasnya.
Apalagi, tegas Salamuddin, dalam beberapa tahun terakhir rating utang Indonesia terus merosot. Lembaga rating terkemuka seperti Moodys juga mendegradasi rating utang Indonesia. Kondisi ini akan membawa konsekuensi terhadap sulitnya pemerintah mendapatkan utang baru.
“Termasuk juga penurunan rating ini akan berdampak mahalnya biaya bunga utang. Ini membuktian kepercayaan pasar terhadap Indonesia rendah akibat dari kondisi ekonomi makro dan pengelolaan fiskal nasional yang masih buruk,” pungkasnya.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh: