Satgas Penanganan COVID-19 melaporkan, hingga Rabu (1/9), sudah dilakukan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) di Indonesia pada 5.790 sampel dan ditemukan 2.323 di antaranya merupakan varian yang diwaspadai yaitu Alpha, Beta, dan Delta.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan efikasi vaksin berbasis m-RNA menurun cukup drastis saat berhadapan dengan virus corona varian Delta. Kondisi itu diamati Budi terjadi pada lonjakan kasus gelombang kedua di sejumlah negara dengan laju vaksinasi yang tinggi seperti Amerika Serikat (51 persen) dan Israel (63 persen).

“Inggris lebih landai dari segi perawatan dan juga dari kematian. Perbedaan dari tiga negara ini adalah Amerika Serikat dan Israel lebih besar porsi vaksin mRNA. Inggris lebih besar komposisi penggunaan vaksin AstraZeneca (berplatform Adenovirus),” katanya.

Atas pertimbangan tersebut, Kementerian kesehatan pun mengubah strategi pencapaian herd immunity’ atau kekebalan komunal dari semula mencapai 70 persen populasi, namun saat ini menyasar kepesertaan vaksinasi sebanyak mungkin penduduk.

Dari total target sasaran vaksinasi nasional berkisar 208 juta lebih jiwa, capaian vaksinasi nasional saat ini baru berkisar 32,1 persen.

“Kita sudah melakukan serangkaian analisa evaluasi situasi, di mana capaian herd immunity tidak lagi 70 hingga 80 persen (populasi), tapi sebagian besar masyarakat di Indonesia itu bisa divaksinasi,” kata Wakil Menkes RI Dante Saksono Harbuwono.

Skenario setelah pandemi

Aliansi Ilmuwan Indonesia Untuk Penyelesaian Pandemi mengusulkan jalan keluar berupa skenario setelah (pasca) pandemi. Disebut skenario karena untuk keluar dari suatu krisis yang penuh dengan ketidakpastian.

Skenario tersebut disusun oleh sejumlah ilmuwan Indonesia yang independen dan non partisan dengan latar belakang disiplin dan institusi yang beragam, di antaranya Sulfikar Amir yang mewakili Nanyang Technological University, Pandu Riono dari Universitas Indonesia, Irma Hidayana dari LaporCovid19, Iqbal Elyazar dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Ines Atmosukarto dari Australian National University dan Yanuar Nugrogo dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid