Selain itu, juga melanggar sejumlah peraturan lain seperti UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan Permen ESDM No 34 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta Kepmen ESDM mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Lingkungan hingga Peraturan Keselamatan Kerja.
“Sehingga, sebagai bagian dari publik, juga merupakan warga Malinau, yang selalu khawatir atas keselamatan sungai dan ruang hidup, kami berhak untuk mendapatkan data dan informasi temuan kejahatan lingkungan pihak perusahaan, karena selama ini kami kesulitan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan lapangan akibat sikap Pemda Kaltara yang enggan membuka data,’ tukas Theodorus.
Dia menduga sikap ESDM yang tak membuka data itu karena mendapat tekanan dan intervesi dari perusahaan tambang batu bara yang dikenai sanksi, hal ini terbukti ketika masa-masa pemberlakukan SK sanksi, PT MA masih melakukan aktifitas penambangan di lapangan.
Dia menegaskan, sikap ESDM yang tidak membuka data ini, bisa dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran atas undang-undang Keterbukaan Informasi Publik No 14 Tahun 2008. Mengingat pengajuan informasi ini sudah dilayangkan secara patut dan sesuai prosedur sejak 28 Agustus 2017 lalu,” ungkap Theodorus.
Sebagai informasi, PT Mitrabara Adiperdana merupakan perusahaan batu bara yang diakusisi oleh Idemitsu Kosan, sebuah perusahaan energy di Jepang, dan mendapat sokongan dana dari JBIC (Ja-pan Bank for International Cooperation).
“Sebagai penyokong dana, JBIC harus ikut bertanggungjawab atas pencemaran yang dilakukan pihak perusahaan di Malinau, apalagi perus-ahaan ini diduga copy paste amdal,” tegas dia.
(Reporter: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka