Pada September-Oktober 2016 ini sedang berlangsung proses rekrutmen anggota Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia (TVRI). Banyak harapan muncul bahwa para anggota Dewan Pengawas yang baru nanti dapat melakukan reformasi di tubuh TVRI, agar TVRI betul-betul mampu menjalankan peran sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Namun, banyak tantangan harus dihadapi untuk mencapai tujuan tersebut.
Sejak berdiri pada 24 Agustus 1962, TVRI memang telah mengalami berbagai fase dalam kehidupannya. Fase-fase itu diwarnai oleh perubahan sistem politik yang berlaku dan semangat zamannya, mulai dari zaman Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan era Reformasi.
TVRI bermula dari berbentuk Yayasan. Ia didirikan untuk menyiarkan Asian Games IV di Jakarta, 1962. Lalu, pada 1974, menjadi bagian dari organisasi dan tata kerja Departemen Penerangan, dengan status Direktorat, yang bertanggungjawab pada Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Pada 2000, TVRI menjadi Perusahaan Jawatan di bawah pembinaan Departemen Keuangan, berdasarkan PP No.36 Tahun 2000. Lalu, berubah lagi menjadi PT. TVRI (Persero) di bawah pembinaan Kantor Menteri Negara BUMN, berdasarkan PP No. 9 Tahun 2002.
Selanjutnya, melalui UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, TVRI ditetapkan sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP). LPP adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga Penyiaran yang berpusat di Jakarta ini terbentuk pada 2005 dan menaungi TVRI dan RRI.
Berdasarkan PP No.13 Tahun 2005, tugas TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Misi utama TVRI, yang menjadi alasan dasar keberadaannya dan sejalan dengan amanat dalam Pembukaan UUD 1945, seharusnya adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Ini menjadi misi yang sangat penting dan strategis. Misi besar itu kemudian bisa dipecah dan dijabarkan dalam misi-misi yang lebih rinci.
Antara lain, menyelenggarakan siaran yang menghibur, mendidik, informatif, berimbang, sehat, dan beretika, untuk membangun budaya bangsa dan mengembangkan ikatan kebersamaan dalam keberagaman.
Penulis beranggapan, istilah siaran yang “netral” kurang tepat di sini, karena TVRI sebagai LPP sudah memilih untuk memihak, yakni memihak publik Indonesia. Pemihakan ini diwujudkan dengan bersikap independen dalam memperjuangkan kepentingan publik Indonesia. TVRI tidak akan memberi tempat bagi tayangan yang akan berdampak buruk atau merugikan publik Indonesia.
Dalam perspektif kepentingan publik, mengingat status TVRI adalah LPP, dalam penjabaran misinya, TVRI juga melakukan berbagai pengembangan dan usaha, yang sejalan dengan tugas pelayanan publik. Serta, melakukan pengelolaan sumber daya seoptimal dan semaksimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan pegawai.
Untuk mencapai misi utamanya, TVRI juga menyelenggarakan tata kelola lembaga yang modern, transparan dan akuntabel, atau good governance. Sesuai dengan tren teknologi komunikasi dan telekomunikasi yang selalu berkembang, serta iklim persaingan media massa yang selalu ada, TVRI juga sepatutnya menyelenggarakan layanan siaran multiplatfrom yang berkualitas dan berdaya saing.
Visi TVRI adalah terwujudnya TVRI sebagai media utama, yang menyediakan dan mengisi ruang publik, sebagai wahana penggerak, perekat, dan pemersatu seluruh elemen bangsa. Melalui pengisian dan pendayagunaan ruang publik itu, TVRI akan menggali dan mengaktualisasikan seluruh potensi sumber daya manusia Indonesia, demi tercapainya cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Untuk merealisasikan visi itu, tampaknya banyak pihak berharap akan terjadi reformasi pada institusi TVRI. Dalam hal ini ada tiga aspek penting. Pertama, Meskipun TVRI adalah LPP, bukan stasiun TV komersial, ia juga dituntut untuk menyajikan program-program dan karya jurnalistik yang kualitasnya bersaing. Maka unsur profesionalisme bagi seluruh awak TVRI harus selalu dikedepankan.
Kedua, profesionalisme itu baru bisa diwujudkan jika terdapat unsur manajerial yang baik. Termasuk di sini, adalah efisiensi dalam pengelolaan anggaran, selain tentunya upaya kita untuk memenuhi besarnya anggaran yang memadai dan layak, bagi tercapainya tujuan-tujuan profesionalisme tersebut.
Ketiga, bentuk yang pas dalam hubungan antara lembaga TVRI dengan pemerintah atau kekuasaan politik. Pada masa-masa sebelumnya, di mata publik, TVRI sudah terlanjur dicap sebagai “alat politik pemerintah.” Penempatan/pemilihan direksi (bahkan termasuk Dewan Pengawas) terkait kelembagaan TVRI itu menjadi obyek tawar-menawar berbagai kepentingan politik yang bermain. Cara pandang dan penyikapan elite politik terhadap lembaga TVRI yang seperti ini harus diubah.
Para elite politik yang berperan dalam menangani TVRI tampaknya harus lebih memahami status TVRI sebagai LPP, di mana “kepentingan publik” harus menjadi ukuran utama dalam menyikapi TVRI. Cap yang ditudingkan masyarakat bahwa TVRI hanyalah sekadar “media penguasa” atau “alat bagi kepentingan politik” tak mungkin bisa kita ubah, jika para elite politik sendiri tidak berintrospeksi, dengan mengubah cara penyikapannya terhadap TVRI. ***
Artikel ini ditulis oleh: