Jakarta, Aktual.com Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyarankan agar pemerintah meninjau kembali asumsi penetapan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dan disesuaikan dengan kondisi harga minyak dunia saat ini.

Mitigasi ini diperlukan untuk mengantisipasi gangguan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018. Sebap dalam anggaran tersebut disepakati ICP sebesar USD 48 per barel.

“Selisihnya begitu besar antara asumsi APBN USD 48 per barel dengan harga pasar dikisaran USD 65 per barel, pemerintah harus mengubah asumsi  agar beban APBN tidak membengkak,” kata Fahmy secara tertulis, Rabu (17/1).

Di sisi lain, Fahmy melihat kenaikan harga minyak berpotensi memberikan dampak positif bagi industri migas nasional dengan mampu membuat investasi di sektor hulu menjadi lebih bergairah.

Selain itu, setoran kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga meningkat dari kenaikan harga minyak dan memberikan dampak terhadap penerimaan migas.

Namun itu tidak serta merta memberikan dampak pada keuangan negara. Pasalnya Indonesia  merupakan negara importir minyak, bahkan lebih banyak mengimpor dibanding produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan.

“Pendapatan migas meningkat, tetapi dengan penurunan lifting, tambahan pendapatan itu tidak signifikan. Bahkan pendapatan itu masih lebih kecil dari pembengkakan impor BBM. Sehingga kenaikan harga minyak dunia bukan lagi berkah tapi bisa dikatakan sudah menjadi musibah bagi negeri ini,” pungkasnya.

 

Pewarta : Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs