Kewenangan Mengadili

Mahkamah Kontitusi (MK) melalui putusanya nomor 97/PUU-XI/ 2013 menyatakan tidak lagi berwenang untuk mengadili perselisihan hasil Pemilukada karena secara limitatif disebutkan dalam pasal 24 C UUD 1945 hanya memberikan kewenangan untuk mengadili perkara pemilihan umum saja, dan tidak termasuk pemilukada. Namun dalam putusanya itu MK juga menyatakan bahwa selama belum terbentuk pengadilan khusus Pemilukada, maka MK akan tetap mengadili perselisihan hasil Pemilukada, demikian juga dalam pasal 157 ayat (3) Undang Undang nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU no 1 tahun 2015 tentang penetapan pemerintah pengganti Undang Undang nomor 1 tahun 2014 tentang pilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi undang undang, menyatakan bahwa penetapan perolehan suara hasil akhir jika terjadi sengketa diadili di Mahkamah Kontitusi sampai dibentuk nya badan peradilan khusus pemilukada.

Namun Mahkamah Kontitusi dalam putusanya dalam perkara nomor 85/ PUU – XX / 2022, menganulir putusan MK terdahulu dalam perkara nomor 97/PUU – XI / 2013. Yang dalam amar putusanya menyatakan “frasa, sampai terbentuknya badan peradilan khusus, pada pasal 157 ayat ( 3) Undang Undang RI nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang Undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, walikota dan bupati, menjadi undang undang sesuai lembaran negara RI tahun 2016 nomor 130 , dinyatakan Oleh MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat .

Demi memperjelas makna pasal 157 ayat (3) UU nomor 10 tahun 2016 yang tidak lagi mengandung sifat sementara, yang menurut Mahkamah Kontitusi frasa sampai terbentuknya badan peradilan khusus harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, dengan hilangnya frasa sementara tersebut sesuai pasal 157 ayat (3) UU nomor 10/2016 selengkapnya harus dibaca “perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahab akhir hasil pemilihan kepala daerah diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Kontitusi, yang bersifat final dan mengikat. Dalam pertimbangan nya MK berpendapat bahwa bahwa mengapa kewenangan mengadili dalam pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Kontitusi, bukan lagi sebuah lembaga khusus yang dibentuk dibawah Mahkamah Agung atau dibawah Mahkamah Kontitusi sendiri, karena sesuai amanat pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagai mana dimaksud pasal 22E UUD 1945 yang berbunyi”
1. pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun.
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggauta DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPD.

Dan seterusnya, didalam pasal 22 E dari UUD 1945 tersebut tidak ada satu katapun pemilu diselenggarakan untuk memilih gubernur, bupati, walikota sebagai kepala daerah. Hanya saja pada ayat (6) tertera, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan Undang Undang.

Demikian juga dalam pasal 24 C dari UUD 1945 , pada ayat (1) berbunyi: Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terahir yang putusanya final untuk menguji Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Antara pasal 22 E dan pasal 24 C dalam Undang Undang Dasar merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan ditafsirkan secara terpisah, dimana didalam bunyi Kontitusi tertulis sesuai Pasal 22E dan pasal 24 dan 24 C tidak ada satu kalimat pun Mahkamah Kontitusi diberikan kewenangan untuk mengadili Pemilihan umum Kepala Daerah, dan itukah sebabnya setelah pasca putusan perkara MK nomor 97/PUU – XI / 2013, dibentuklah Undang Undang nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang Undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Pemerintah Pengganti UU nomor 1 tahun 2014, tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota.

Bahwa pertimbangan Mahkamah Kontitusi dianulir nya putusan nomor 97 / PUU – XI / 2013 karena hingga tahun 2022 dengan telah ditetapkanya diajukan pemilihan kepala daerah secara serentak di seluruh wilayah RI yang telah habis masa jabatannya, dimana Eksekutif dalam hal ini pemerintah juga belum melaksanakan untuk membentuk peradilan khusus Pemilukada yang harus diatur dan dilakukan penelitian secara komprehensif apakah dibawah Mahkamah Agung atau dibawah Mahkamah Kontitusi, yang mendasari salah satu dalam pertimbangan nya bahwa MK mempunyai kewenangan permanen untuk mengadili hasil perhitungan akhir sengketa pemilukada, secara final dan mengikat.

Dari pertimbangan MK diatas, jelas sekali Majelis Hakim di Mahkamah Kontitusi telah menempatkan diri sebagai Pembuat dan pembentukan dari Hukum Dasar dalam hal ini adalah Pemerintah (eksekutif) yakni presiden, dan atas persetujuan DPR, dua lembaga tersebutlah yang diberikan kewenangan untuk merubah dan mengamandemen dari isi dan bunyi pasal di dalam UUD 1945. Dimana dalam UUD 1945 sendiri kewenangan Mahkamah Kontitusi adalah hanya mengadili Undang Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, bukan nya mengubah dan menafsirkan frasa dari bunyi Undang Undang Dasar itu sendiri yang secara limitatif sudah jelas diatur sesuai pasal 22 E dan pasal 24 dan 24 C dari UUD 1945. Dan hal ini menabrak pembagian kekuasaan sesuai Trias Politica dalam pemerintahan yang Demokratis.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano