Bahwa apabila pertimbangannya mengambil alih kewenangan mengadili secara permanen dalam peradilan Pemilukada dikarenakan eksekutif belum juga memberikan peradilan khusus pemilu kada, maka pertimbangan tersebut sangat naif, karena disamping biaya cosh yang harus dipersiapkan juga sangat besar, pemilu kada bersifat hajatan lima tahunan, tentu eksekutif/pemerintah akan lebih mengutamakan untuk sektor yang lebih penting dalam pembangunan bukanya tidak mau membentuk, tapi mungkin akan dianggarkan pada tahun berikutnya, dan harus dikaji secara komprehensif,

Pertanyaan selanjutnya, setelah Mahkamah Kontitusi mengambil alih kewenangan untuk mengadili dalam kasus perkara Pemilu kada yang sudah dilaksanakan secara serentak pada tgl 27 November 2024 yang lalu, apakah mampu untuk menampung dan menjalankan. Proses peradilan tersebut, katakanlah peradilan yang bertujuan kepastian hukum, bisa diterapkan bagaimana dengan peradilan untuk mencapai keadilan, belum lagi setelah keadilan dan kepastian hukum tercapai bagaimana untuk mencapai asas Kemanfaatan bagi masyarakat, bagi Bangsa dan Negara? Sedang kita mengetahui Pemilukada serentak ini dilakukan dari Sabang hingga pulau Rote (Merauke) dengan 508 Kabupaten kota, dan 37 Provinsi, sesuai asas proses peradilan yang menuntut biaya murah dengan proses cepat tidak bertele Tele, dengan batasan waktu yag telah ditetapkan oleh Undang Undang dalam peradilan Pemilukada, bagaimana bisa terpenuhi, katakanlah calon kepala daerah dari Indonesia Timur atau Aceh datang ke Jakarta untuk mengajukan. Gugatan. Di Mahkamah Kontitusi, berapa biaya dan waktu yang harus ditempuh, dan sanggupkah dengan kondisi ada sembilan hakim Kontitusi, dan jumlah ruangan serta keterbatasan waktu yang ditentukan?

Inilah kita menunggu jiwa kenegarawanan dari Hakim Mahkamah Kontitusi, yang diibaratkan telah duduk dikursi gadung dimana segala putusan putusanya adalah mahkota dari kehormatan hakim itu sendiri , apakah bisa memutuskan bukan saja dari aspek keadilan dan kepastian hukum, tapi juga dari aspek kemanfaatan. Dengan Kekuasaan yang telah diberikan oleh Negara kepada Mahkamah Kontitusi yang diberikan kewenangan mengadili secara final dan mengingat, tidak ada upaya hukum banding apalagi kasasi. Boleh diibaratkan, Kekuasaanya menyamai fiirman Tuhan.

Apakah Mahkamah Kontitusi dalam memutuskan perkara nomor 85 / PUU – XX/ 2022 yang menambah kewenangan untuk dirinya sendiri, yang tidak diatur secara limitatif didalam UUD 1945, telah memikirkan hal ini?

Manusia adalah tempat bersemayamnya segala kekurangan dan kesalahan serta kekilafan, dengan kekuasaan yang begitu tinggi dan besar sangat menakutkan kiranya untuk diemban, seperti halnya mengemban jabatan Tuhan didunia. Ini harus menjadikan introspeksi diri kita bersama, untuk memperbaiki sistem hukum Kedepan demi bangsa ini, demi gegara ini.

 

Oleh: Agus Widjajanto, Penulis adalah praktisi hukum dijakarta, pemerhati masalah sosial budaya, hukum dan sejarah bangsanya.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano