Banda Aceh, Aktual.com – Beberapa waktu belakangan, masyarakat kerap makin terbiasa dengan istilah hoax atau kabar palsu. Terlebih dalam tahun politik, kata tersebut makin sering dilontarkan atau ditudingkan seseorang/sekelompok kepada orang atau kelompok lain.
Hoax dianggap berbahaya lantaran dapat menyesatkan dan mengaburkan informasi yang diterima masyarakat sehingga dapat membenarkan informasi yang salah begitu pula sebaliknya.
Menanggapi fenomena ini, ulama Aceh yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sepakat menganggap hoax adalah sebuah barang haram.
Tidak tanggung-tanggung, kesepakatan ini pun direalisasikan dalam sebuah fatwa.
“Kami sudah duduk merancang dan merumuskan fatwa bahwa hoax merupakan perbuatan haram,” kata Ketua MPU Aceh, Prof Tgk H Muslim Ibrahim di Banda Aceh, Rabu (7/11).
Menurut Muslim, fatwa haram ini ditujukan kepada semua pihak, baik pembuat, penyebar maupun bagi mereka yang sudah mengetahui informasi yang diterimanya adalah berita bohong, tetapi tetap menyebarkannya.
Ia menilai, pengaturan hoax sejatinya bukanlah hal baru dalam agama Islam karena sudah ada diatur sejak 15 abad silam. Fatwa dikeluarkan untuk mengingatkan pembuatan dan penyebaran hoaks adalah haram.
“Fatwa hoax ini dikeluarkan bukan karena ada musim politik Pemilu 2019, tetapi bagaimana mengulang dan mengingatkan masyarakat tidak membuat dan menyebarkan berita bohong,” jelas Muslim.
Sementara, Wakil Ketua MPU, Tgk H Faisal Ali mengatakan, dalam fatwa tersebut juga disebutkan kriteria hoax, yakni berita bohong yang dikemas untuk hal tertentu.
“Berita bohong itu ditujukan seperti untuk penistaan, menyudutkan orang tertentu, serta lainnya yang kebenarannya tidak ada,” katanya.
Kemudian, kriteria berita bohong lainnya tidak ada di media massa resmi. Sebab, berita-berita media massa resmi sudah jelas kebenarannya informasi yang disampaikan.
“Hoax ini jelas hukumnya haram. Karena itu, kami mengimbau masyarakat mengecek kebenaran sebuah berita atau informasi yang diterima sebelum menyebarkannya,” kata Faisal.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan