Jakarta, Aktual.com — Gus Kholil dari Pondok Pesantren Payaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang sedang berada di Jakarta, mengirim layanan pesan singkat menjelang sahur kepada seorang kawannya yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung di kampung halamannya itu.
Isi layanan pesan singkat melalui telepon seluler dari Gus Kholil (Kholilul Rohman Ahmad) itu, mengingatkan tentang pentingnya kawannya itu berbagi rezeki kepada sesama, terutama karena momentum Idul Fitri 1 Syawal 1436 Hijriah segera tiba.
Kalimat pesan itu, dia kutip dari Al Quran, Surat Adz-Dzariyaat/51 ayat 19, “Wa fi amwalihim haqqun lis saili wal mahruum“.
Dia sekaligus mengartikan ayat itu, “Dan di dalam harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Beberapa menit kemudian, masuk lagi layanan pesan singkat dari Gus Kholil terkait dengan kewajiban umat Islam membayar zakat saat Idul Fitri yang maknanya sebagai hal yang bersih, suci, doa, dan tenteram jiwa.
Pesan kedua itu berupa kutipan ayat suci Al Quran dari surat At-Taubah/9 ayat 103 yang isinya telah diterjemahkan, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar dan lagi Maha Mengetahui”.
Pesan Allah SWT melalui Rasullulah Muhammad SAW yang kemudian tertuang dalam Al Quran itu, tentu menjadi pijakan penting bagi umat Islam dalam mengambil jalan kemuliaan setelah selama Ramadan mereka berpuasa dengan memperdalam iman serta takwa, kemudian merayakan kebahagiaan serta kemenangan pada Idul Fitri.
Setidaknya, hal demikian sudah menjadi tradisi personal Endang Ratnawati (57), warga biasa yang tinggal di Dusun Dampit, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang yang juga memiliki satu rumah lain di Kampung Karang Kidul, Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang.
“Zakat sudah tentu. Saya melakukan saat Idul Fitri. Itu kewajiban sebagai umat Islam,” ucap Endang yang setiap hari bekerja sebagai bidan di Puskesmas Mertoyudan I Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang.
Tidak dikatakan secara detail oleh isteri Sutrisno (56) tersebut, tentang total jumlah kekayaan yang disadari secara keimanan sebagai berkah dari Allah atas usaha tekun menjalani kehidupan sehari-hari guna mencukupi kebutuhan keluarganya, untuk kemudian sebagian dibagikan kepada orang lain.
Di bagian rumah tinggalnya di Dusun Dampit, selain menjadi tempat layanan bidan praktik, juga dibuka usaha butik kecil. Aset lainnya berupa usaha ekonomi dalam bentuk toko kelontong di Purwokerto yang dikelola oleh orang kepercayaannya.
Perempuan yang memiliki lima anak, terdiri atas tiga anak kandung dan dua anak angkat yang semuanya kini sudah hidup mandiri itu, juga memberikan santunan kepada penghuni salah satu panti asuhan di Purwokerto yang pernah dirintis oleh salah satu anaknya.
Hari-hari menjelang Lebaran, selain tetap menjalani rutinitas tugas di puskesmas pada jam kerja dan melayani para ibu serta anak-anak yang datang ke rumahnya untuk mendapatkan layanan kesehatan di luar jam kerja, Endang juga berbelanja berbagai barang kebutuhan Hari Raya. Ia berbelanja kebutuhan itu di sejumlah toko swalayan dan pasar tradisional setempat.
Berbagai barang kebutuhan yang dibelinya, untuk menjamu anak-anak dan dua cucunya yang akan berkumpul setiap Idul Fitri, sedangkan sebagian lainnya dikemas dalam kardus menjadi bingkisan Lebaran untuk dibagikan kepada tetangga.
Jumlah bingkisan Lebaran yang dibagikan kepada tetangga barangkali tidak seberapa. Ia juga merasa tidak elok menyebut harga setiap bingkisan. Tetapi ia menyadari bahwa kebiasaan sejak 2004, saat kehidupan bersama keluarga mapan itu, mendasarkan kepada nilai-nilai kemuliaan hati sebagai umat Islam, yakni semangat batin untuk berbagi kebahagiaan kepada sesama.
“Rezeki saya ini, juga rejeki mereka,” ujarnya.
Di bagian lain dari ruang tengah rumahnya, sore menjelang waktu berbuka puasa pada “H-3” Lebaran 2015 itu, tampak telah tertata puluhan kardus berisi aneka barang, seperti beras, minyak goreng, gula pasir, kopi, teh, minuman segar, sirup, aneka kue kering, sarung, pakaian. Beberapa kardus lainnya ada yang berisi alat masak.
“Saya tidak ingin latah menyebut parsel. Hati kecil saya lebih pas bingkisan,” celetuknya, sambil menyebut jumlah bingkisan pada Lebaran 2015, masing-masing 10 kardus untuk warga sekitar rumahnya di Dampit, sembilan untuk Karang Kidul, dan 15 bingkisan untuk tukang becak.
Seorang warga Dampit, Slamet Riyanto (55), menyatakan bersyukur setiap menjelang Lebaran mendapatkan bingkisan dari Endang Ratnawati. Beberapa nama warga setempat lain, juga disebutnya memiliki kebiasaan mulia yang serupa dengan perempuan itu.
“Biasanya, Ibu diam-diam setelah magrib, datang sendiri ke rumah-rumah di sini, mengantar bingkisan. Kali ini, kami diundang ke rumah,” kata lelaki tersebut yang bersama sejumlah warga lainnya datang ke rumah Endang untuk menerima kardus berisi aneka barang yang bertuliskan “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir & Batin”.
Kebiasaan Endang membagi bingkisan Lebaran kepada para tetangga dekat tidak lepas dari kesadaran sosial bahwa mereka yang ada di sekitar rumahnya, adalah orang-orang penting dalam hidupnya setiap hari, yang harus selalu disapa dalam semangat persaudaraan.
Bingkisan Lebaran untuk siapa saja tukang becak yang melintas di jalan dekat rumahnya di Karang Kidul, tidak lepas dari pengalaman batin Endang pada 1996 karena mendapat pertolongan dari tukang becak, saat harus tranfusi darah.
Kala itu, seorang tukang becak yang mangkal di depan kantor PMI dengan suka hati mendonorkan darahnya yang golongan AB kepada Endang. Waktu itu, Endang harus menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Kota Magelang dan membutuhkan darah AB.
Hingga saat ini, Endang tidak mengetahui nama, alamat tinggal, ataupun keberadaan tukang becak tersebut. Ia membenarkan bahwa mukjizat Tuhan hadir melalui tukang becak malam itu.
“Waktu itu malam-malam, dua anak saya sudah putus asa. Mereka cari bantuan darah ke mana-mana tidak dapat-dapat. Sudah ke PMI Magelang (Kota dan Kabupaten Magelang, red.) tidak dapat, sampai PMI Temanggung juga tidak dapat. Mereka menangis, tukang becak yang mangkal di depan PMI Temanggung mengetahui, lalu mendonorkan darahnya,” kenangnya.
Sampai sekarang, Endang mengungkapkan terima kasihnya kepada tukang becak “misterius” itu, melalui bingkisan Lebaran yang diberikan kepada siapa saja tukang becak yang sedang melintasi jalan di depan rumah.
Di tengah keruwetan kehidupan sosial kemasyarakatan yang berkelindan dengan aspek ekonomi, politik, hukum saat ini, dan juga dengan kegamangan terhadap nilai budaya serta kearifan lokal, masih ada pancaran kemuliaan sebagaimana dijalani perempuan biasa itu, setiap menjelang Lebaran.
Pengalaman personal yang membatin atas kemuliaan berbagi bingkisan Lebaran seperti itu, tentu berbeda semangatnya dengan yang dijalankan sebagai program rutin oleh institusi pemerintahan, partai politik, yayasan sosial, ataupun korporasi.
Sebagai program institusional, pemberian bingkisan Lebaran harus mendasarkan kepada aturan formal dan melalui proses birokrasi yang benar, agar tidak terjerembap kepada perkara hukum.
Pemberian bingkisan Lebaran secara institusional, biasanya melalui acara seremonial dengan tak jarang mengundang wartawan untuk meliput.
Langsung maupun tidak langsung, wujud kemuliaan yang demikian berhimpitan dengan kepentingan pencitraan secara institusional maupun personal petingginya. Namun, juga bisa ditangkap sebagai kehendak baik untuk memberi teladan inspiratif kepada yang lain.
“Insya Allah, saya tetap akan lakukan ini, meskipun tahun depan mulai pensiun,” tukas Endang Ratnawati.
Artikel ini ditulis oleh: