Medan, Aktual.com – Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman menanggapi perkembangan sidang gugatan praperadilan dengan pemohon Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan melawan penetapan tersangka oleh KPK.
Sebagaimana kata Yusri terungkap dalam persidangan yang dikemukakan oleh saksi fakta Pertamina, Aris Mulya Azof bahwa pengadaan LNG dari Corpus Christy Liquefaction (CCL) sampai bulan September 2023 telah memberikan keuntungan signifikan dan nyata serta pasti bagi Pertamina sebesar USD89,54 juta atau setara Rp1,3 triliun lebih.
Apalagi kata Yusri, saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak termohon KPK, Inne Anggraini yakni auditor BPK dalam persidangan kemarin mengatakan kerugian keuangan negara masih sebatas indikasi, dan tidak bisa menyebutkan angka kerugian negara yang nyata dan pasti ketika ditanya Hakim tunggal PN Jakarta Selatan.
“Aneh juga jika saksi ahli dari BPK ini mengatakan kerugian masih indikasi. Padahal kerugian itu harus nyata dan pasti,” tegas Yusri kepada wartawan, Selasa (31/10/2023).
Selain itu kata Yusri, terungkap dalam persidangan bahwa BPK baru menerima permintaan melakukan audit dari KPK bulan Februari 2023, padahal Karen Agustiawan telah ditetapkan sebagai tersangka pada bulan Juni 2022.
“Mereka BPK sejak Febuari 2023 hingga sekarang kok gak selesai auditnya?, bisa jadi itu petanda BPK sebenarnya tak bisa menemukan adanya kerugian keuangan negara secara pasti dan nyata, karena Pertamina sebenarnya saat ini sudah untung besar,” ungkap Yusri.
Masih terkait fakta persidangan kata Yusri, menurut Ahli Perdata Dr. Subani, SH. MH bahwa perjanjian jual beli LNG antara Pertamina dengan CCL yang ditandatangani eranya Karen pada 4 Desember 2013 dan 1 Juli 2014 telah digantikan secara keseluruhan perjanjiannya di eranya Dwi Sucipto selaku Dirut Pertamina pada 20 Maret 2015, sehingga Karen secara perdata terbebaskan dari segala tanggungjawab korporasi.
Terkait pernyataan Kepala Biro Penerangan KPK, Ali Fikri yang mengatakan pihaknya membawa 121 alat bukti dalam persidangan praperadilan, Yusri mengatakan nampaknya tidak akan berguna jika nyatanya KPK tidak bisa secara nyata dan pasti menyebutkan besaran kerugian negara seperti yang mereka tuduhkan kepada Karen Agustiawan.
“Jarang KPK sekali menyebutkan jumlah bukti sebesar itu. Itu bisa jadi indikasi mereka tak punya bukti ada kerugian negara dalam kontrak pengadaan LNG. Apalagi kerugian negaranya masih sebatas indikasi dan dari hasil diskusi,” jelas Yusri.
Padahal, menurut UU Tipikor, KPK hanya perlu dua alat bukti, yaitu adanya “mens rea” dari perbuatan melawan hukum dan kerugian negara yang nyata dan pasti, mungkin ini akan sulit dipenuhi KPK berdasarkan fakta persidangan, pungkas Yusri.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan