Jakarta, Aktual.com – Pemerintah masih mempertimbangkan untuk memberikan insentif melalu pengeluaran regulasi baru yang bertujuan mengakomodir lapangan ultra deep water. Pasalnya Wakil Menteri Arcandra Tahar bersikukuh bahwa semua kesulitan itu masih relevan untuk dicover melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Gross Split.
Namun jika ada sanggahan atas hal itu, dia menantang agar dibutikan secara data. Namun hingga sekarang tak satupun yang menyampaikan data kajian lapangan yang mementahkan sistem gross split, sehingga dia keberatan untuk mengeluarkan insentif baru di area ultra deep water.
“Coba buktiin dulu benar tidak kalau gross split tidak workable. Sampai sekarang belum ada yang ngajuin. Saya kan udah tantang di IPA, entah di SKK. Saya sudah bilang buktikan dengan angka mana yang nggak workable itu. Sampai sekarang gak ada yang masukkan. Silahkan saja ajukan, belum ada loh. Bagaimana saya mau evaluasi?,” tuturnya di Jakarta, Jumat (26/5).
“Di AS, mau laut dalam, mereka gunakan tax and royalty. Tax-nya sekitar 30 persen, royalty sekitar 15-16 persen. Berapa dapat pemerintah? 45 persen kan,” ujarnya.
Sedangkan di Indonesia bandingnya, hanya dipatok base split sebesar 57 persen lalu dikurangi variabel split dan progres splist, hasilnya bisa lebih dibawah 45 persen bagian negara.
“Tolong ditulis yang resmi. Yang mengatakan nggak workable kan cuman WoodMac (itupun sudah direvisi oleh Wood Mackenzie). Yang lain belum ada bilang nggak workable. Makanya saya tantang nih,” imbuhnya.
Sebelumnya Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan bahwa lembaga konsultan Wood Mackenzie telah mengakui kekeliruannya atas analisa yang menyatakan bahwa skema baru kebijakan gross split bagi hasil migas Indonesia, kurang atraktif atau kurang menarik dalam dunia investasi hulu migas.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka