Pekerja melinting rokok di Aceh Besar, Kamis (27/7/2023). ANTARA/M Haris SA
Pekerja melinting rokok di Aceh Besar, Kamis (27/7/2023). ANTARA/M Haris SA

Jakarta, aktual.com – Industri tembakau di Provinsi Aceh, terutama yang dikelola oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), berhadapan dengan tantangan serius dari rokok ilegal yang beredar luas di pasar. Hal ini menyebabkan produsen lokal mengalami kesulitan bersaing karena harga rokok ilegal yang lebih murah. Untuk menghadapi masalah ini, mereka mendesak pihak berwenang untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penindakan peredaran rokok ilegal.

Fendi Syahputra, seorang pelaku UMKM tembakau di Aceh Besar, mengungkapkan betapa sulitnya situasi bagi para produsen lokal. Penjualan rokok produksinya merosot secara drastis ketika rokok ilegal semakin marak di pasar. Meskipun ada program Gempur Rokok Ilegal yang dijalankan oleh bea cukai, produktivitas mereka belum sepenuhnya pulih seperti sebelumnya. Meski demikian, mereka tetap berusaha semaksimal mungkin dan mencatat peningkatan produksi meskipun masih di bawah kapasitas sebelumnya.

“Kami mengharapkan pencegahan rokok ilegal ditingkatkan. Rokok yang kami produksi sulit bersaing di pasaran karena harga rokok ilegal lebih murah,” kata Fendi Syahputra, pelaku UMKM tembakau di Aceh Besar, Kamis (27/7).

Menanggapi hal ini, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Provinsi Aceh, Safuadi, menegaskan bahwa pihaknya tidak berhenti berupaya meningkatkan pencegahan dan penindakan terhadap rokok ilegal.

“Kampanye program gempur rokok ilegal terus dilakukan. Termasuk operasi pasar rokok Ilegal. Rokok ilegal tersebut adalah rokok tidak dilekati cukai, menggunakan cukai palsu, dan lainnya,” kata Safuadi.

Selain mengatasi permasalahan rokok ilegal, Safuadi juga menyoroti potensi besar yang dimiliki oleh industri tembakau di Aceh. Daerah ini memiliki ciri khas tembakau yang berbeda dengan daerah lain, namun potensinya belum sepenuhnya dikembangkan secara optimal.

“Tembakau Aceh memiliki ciri khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tembakau tersebut belum dikembangkan dengan optimal,” ungkap Safuadi.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh, luas tanaman tembakau mencapai 2.888 hektare dengan produksi mencapai 2.597 ton pada tahun sebelumnya. Meski demikian, hanya ada tujuh usaha tembakau yang beroperasi di Aceh, dengan tiga di Kota Banda Aceh dan empat di Kabupaten Aceh Besar.

Safuadi menambahkan bahwa jika produksi tembakau yang besar ini dikelola dengan optimal, industri ini berpotensi untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Aceh yang lebih luas. Dengan begitu, pengembangan dan penguatan industri tembakau lokal bisa menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi daerah ini.

“Tembakau Aceh memiliki ciri khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tembakau tersebut belum dikembangkan dengan optimal,” ujar Safuadi.

Dalam upaya untuk menghadapi tantangan rokok ilegal dan memaksimalkan potensi industri tembakau, para pelaku usaha dan pihak berwenang di Aceh perlu bekerja sama dalam menyusun strategi yang efektif. Dengan penerapan kebijakan yang tepat dan komitmen bersama, diharapkan industri tembakau lokal dapat bangkit dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian serta kesejahteraan masyarakat Aceh.

Artikel ini ditulis oleh: