Jakarta, Aktual.com — Perjanjian tentang pengerjaan kontribusi tambahan yang disepakati oleh Pemerintah Provinisi DKI Jakarta dengan empat perusahaan pengembang reklamasi pantai utara Jakarta, dinilai illegal.
Disebut illegal, bukan hanya karena perbedaan dari segi kedudukan. Jika menyebut kontribusi tambahan dilakukan untuk kepentingan rakyat, perjanjian itu akan sangat rawan diselewengkan, lantaran tidak perwakilan dari masyarakat.
“Sebuah perjanjian yang dibuat oleh Kepala Daerah dengan pihak swasta, pembuatannya tidak ada kewajiban melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPRD,” papar pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, saat dihubungi, Sabtu (14/5).
“Hal ini tentu sangat rawan isi perjanjian tidak mencerminkan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi,” imbuhnya.
Karena konteks kontribusi tambahan untuk kepentingan rakyat, maka salah satu payung hukumnya adalah Peraturan Daerah. Mengapa Perda, karena aturan ini juga dibahas bersama DPRD, yang dalam Undang-Undang disebut sebagai perwakilan rakyat.
Dia pun kembali menegaskan, bahwa sebuah Perda tidak bisa digantikan kedudukannya dengan sebuah perjanjian, antara pemerintah dengan pihak swasta.
“Kedudukan Peraturan Daerah (Perda) tentu tidak bisa digantikan atau di subtitusi dengan perjanjian, mengingat beberapa alasan,” terangnya.
“Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang mempunyai ciri sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum. Terdapat keterlibatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan yaitu DPRD untuk memutus hal-hal strategis yang menyangkut kepentingan rakyat banyak,” jelasnya.
Sekedar informasi, saat menjabat Wakil Gubernur, tepatnya 18 Maret 2014, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah menggelar rapat dengan empat pengembang yang diperkenankan mereklamasi di Pantura Jakarta dengan agenda kontribusi tambahan. Hal ini memang menjadi kesepakatan antara keduabelah pihak.
Berdasarkan dokumen berita acara rapat tersebut yang diperoleh Aktual.com, ternyata empat pengembang, yakni PT Jakarta Propertindo (Jakpro), PT Muara Wisesa Samudra (MWS), PT Taman Harapan Indah (THI), dan PT Jaladri Kartika Pakci (JKC), telah mengerjakan beberapa kewajiban tambahan sebelum rapat digelar.
Ahok berdalih, perintah untuk melakukan beberapak kewajiban pengembang, yang disebut kontribusi tambahan ini, tertuang dalam Keppres Nomor 52 Tahun 1995. Padahal, dalam aturan tersebut tidak menjelaskan sedikitpun tentang kewajiban, kontribusi, ataupun kontribusi tambahan yang dibebankan kepada pengembang.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan