Antrean ratusan pemudik mengisi ulang BBM di SPBU Gempol Sari, Subang, Jawa Barat, Sabtu (2/7). Pertamina memperkirakan selama periode H-15 hingga H+15 Lebaran, konsumsi premium diprediksikan naik 15 persen dari 71.906 menjadi 82.496 kiloliter per hari. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas, Faisal Basri kembali bersuara keras atas prilaku aneh PT Pertamina (Persero) yang mengambil untung besar ke masyarakat atas penjualan Premium.

Dia tidak menafikan bahwa tingginya pendapatan Pertamina pada semester satu tahun ini merupakan buah hasil dari aksi ambil untung dari rakyat, bahkan dia menilai Pertamina bertindak kelewat batas dan berani mengatur-ngatur pemerintah dalam penentuan harga.

“Jadi seharusnya Premium turun, tapi yang mengatur ni seakan-akan Pertamina, bukan pemerintah. Pertamina bilang apa, diikuti pemerintah. Waktu bulan Aplir, (harga segaja tidak kami turunkan terlalu tinggi, nanti kalau harga naik, kami tidak akan naikkan), emannya dia regulator? Jadi pendapatan semester satu kemaren dari situ. Ditambah akal-akalannya bikin Pertalite,” kesalnya saat diwawancar di kawasan Kebon Sirih Jakrta, Senin (26/9).

Kemudian dia menegaskan agar Pertamina mengembalikan dana pendapatan dari selisih harga tersebut kepada pemerintah.

“Tidak boleh ambil untung besar dari Premium, kalau ada kelebihan, harus dikembalikan kepada Pemerintah. Pemerintah yang ngatur mau naikan atau turunkan harga BBM, bukan Pertamina. Tapi Pertamina sering merasa kuasa dari Pemerintah,” tandasnya.

Diketahui Berdasar laporan keuangan Pertamina semester pertama 2016, terungkap bahwa Pertamina meraih untung hingga US$755 juta dari pelaksanaan Public Service Obligation (PSO) dan penugasan (kerosene, LPG 3 kg, solar dan premium non Jamali).

Rinciannya, keuntungan dari penjualan BBM PSO dan penugasan mencapai USD637 juta atau sekitar Rp8,3 triliun dan dari LPG 3 kg sebesar USD117 juta atau sekitar Rp1,5 triliun.

Dalam penjelasannya, Pertamina menyatakan bahwa laba usaha BBM PSO 449,9 persen lebih tinggi dibandingkan periode sama 2015. Tingginya kenaikan laba ini disebabkan oleh rendahnya biaya produk sejalan dengan penurunan harga MOPS (Mid Oils Platts Singapore) dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang merupakan komponen pembentuk biaya produk.

Realisasi ICP di semester I-2016 hanya USD36,16 per barel, jauh dibawah RKAP Pertamina sebesar USD50 per barel. Maka dengan modal harga minyak yang rendah dan menjual BBM dan LPG subsidi di harga tinggi, Pertamina mampu mengantongi EBITDA sebesar USD4,1 miliar, dengan EBITDA margin 23,9 persen atau 128 persen dari RKAP yang dirancang perusahaan. Sementara laba bersihnya mencapai USD1,83 miliar, 113 persen lebih tinggi dari RKAP perseroan.

Dadang Sah

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan