Sesudah sekian lama kita tidak bicara tentang ideologi, apalagi ideologi yang secara spesifik kita namai “Demokrasi Pancasila,” rasanya menyegarkan membaca bahwa Denny JA mengangkat lagi topik ini. Apapun latar belakangnya, karena isu ini bersifat cukup strategis bagi masa depan bangsa, inisiatif Denny patut kita apresiasi.
Dulu pernah ada polemik cukup ramai. Tidak persis tentang ideologi Demokrasi Pancasila, tetapi tentang sesuatu yang lebih operasional atau turunan dari ideologi, yakni sistem “Ekonomi Pancasila.” Topik ini muncul dan dipelopori oleh ekonom senior UGM, Prof. Dr. Mubyarto. Namun, para ekonom dari UI, yang cukup dominan di pemerintahan Orde Baru waktu itu, tampaknya tidak cukup mengapresiasi gagasan Mubyarto.
Inisiatif Denny tidak muncul dari awang-awang, namun bersentuhan dengan konteks aktualitas, yakni Pilkada DKI Jakarta 2017 yang baru saja berlalu. Pilkada yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai Pilkada yang paling brutal, vulgar, kasar, memecah belah, dan menghalalkan segala cara. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dieksploitasi habis-habisan di sini. Konteks Pilkada DKI ini secara implisit juga tersambung ke Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019.
Denny memulai dengan narasi pasca Pilkada DKI Jakarta, yang dianggapnya telah membelah publik dan elit politik secara serius. Sehingga, dalam waktu yang tak lama, demokratisasi di Indonesia yang dimulai sejak Reformasi 1998 bisa jadi akan mengalami kemunduran yang signifikan.
Artinya, dalam waktu dekat Indonesia akan terkoyak-koyak dan tidak stabil. Sedangkan dalam waktu yang tak lama, demokrasi Indonesia akan berada dalam ketidakpastian yang berlarut, serta memundurkan semua pencapaiannya.
Ada rekan yang menganggap pernyataan Denny ini berlebihan. Ikatan yang merajut kebangsaan Indonesia dipandang cukup kuat dan ulet, tidak mudah untuk koyak atau putus begitu saja. Sejarah membuktikan bahwa ikatan bangsa ini sudah melalui banyak ujian dan toh ternyata tetap bertahan. Ketika Uni Soviet dan Yugoslavia tercerai berai, pecah jadi beberapa negara, Indonesia yang bertubi-tubi dihantam krisis ekonomi dan politik ternyata bertahan.
Namun, saya lebih condong ke pandangan Denny untuk bersikap lebih hati-hati. Di dunia yang kita huni sekarang, perubahan teknologi komunikasi terjadi begitu cepat, dan teknologi-teknologi baru lain juga telah mengubah dunia secara tak terduga.
Generasi muda sekarang juga tidak mengalami pengalaman kesejarahan yang sama, yang jadi salah satu faktor pengikat bangsa, seperti generasi ayah dan kakeknya. Maka, lebih aman untuk tidak taken for granted dengan apa yang namanya “rajutan tenun kebangsaan.”
Denny meneruskan dengan imbauan bahwa komitmen semua warga pada Demokrasi Pancasila perlu ditegaskan kembali. Tapi Demokrasi Pancasila yang diperlukan saat ini bukanlah “Demokrasi Pancasila” seperti yang diterapkan di zaman Orde Baru, tetapi adalah Demokrasi Pancasila yang sudah diperbarui dengan perkembangan baru.
Menurut Denny, ada empat pokok isu strategis pasca Pilkada Jakarta. Pertama, menjelaskan aneka embrio platform yang berbeda dan saling bertentangan yang ada saat ini, mengenai ke mana Indonesia harus dibentuk. Aneka platform itu ikut bertarung mewarnai Pilkada DKI 2017. Meski hasil KPUD soal Pilkada sudah disahkan, konflik gagasan dan embrio platform justru terus membara, berbeda, bahkan bertentangan. Yakni, tentang bagaimana sebaiknya aturan main bersama tersebut.
Kedua, argumen mengenai mengapa para elit perlu menegaskan komitmen pada Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Juga dijelaskan, apa beda Demokrasi Pancasila yang diperbaharui dengan Demokrasi Pancasila sebagaimana yang diterapkan di era Soekarno dan Soeharto. Dijelaskan pula, dimana bedanya Demokrasi Pancasila yang diperbaharui dengan demokrasi liberal yang kini berlaku di dunia Barat.
Ketiga, penjelasan soal apa yang kurang dalam praktik demokrasi Indonesia saat ini, agar mencapai platform ideal Demokrasi Pancasila yang diperbaharui itu.
Keempat, apa yang semua kita bisa kerjakan, untuk ikut mengkonsolidasikan Demokrasi Pancasila yang diperbaharui.
Denny melanjutkan, platform Demokrasi Pancasila yang diperbarui perlu dikonsolidasikan. Ada tiga isu yang perlu ditambahkan agar Demokrasi Pancasila yang diperbarui itu bisa diterima sebagai satu-satunya ideologi yang kita operasionalkan.
Pertama, justru karena demokrasi ini memberikan peran agama yang lebih besar di ruang publik, perlu dibuat sebuah Undang-Undang Perlindungan Kebebasan dan Umat Beragama. Pernyataan Denny ini sebetulnya sangat umum, sehingga perlu elaborasi. Peran agama yang lebih besar di ruang publik itu contohnya seperti apa?
Kedua, mengakomodasi luasnya spektrum gagasan yang ada dalam masyarakat. Sejauh itu semua masih dalam bentuk gagasan, ia boleh tetap hidup di ruang publik. Yang dilarang hanya gagasan yang merekomendasikan kekerasan, seperti terorisme, atau gagasan yang dipaksakan dengan kekerasan atau tindakan kriminal. Padahal prinsip Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Modern menjamin hak hidup aneka gagasan sejauh masih dalam bentuk gagasan, dan tidak menyerukan kekerasan ataupun tindakan kriminal.
Ketiga, prinsip kedua itu harus juga diikuti tegaknya “law enforcement” aparatur negara yang harus sepenuhnya disadari pemerintah. Ketika demokrasi masih labil seperti sekarang, pemerintah harus hadir. Pemerintah harus tegas dan keras melindungi keberagaman itu. Jika tidak, kebebasan yang ada justru digunakan untuk menindas yang lemah.
***
Untuk menanggapi Denny, saya mencoba menguraikan dulu apa yang dimaksud dengan ideologi politik. Dalam studi sosial, ideologi politik adalah seperangkat etik tertentu tentang hal-hal ideal, prinsip, doktrin, mitos, atau simbol dari gerakan sosial, lembaga, kelas, atau kelompok besar, yang menjelaskan bagaimana masyarakat harus berjalan.
Ideologi-ideologi politik, termasuk Demokrasi Pancasila, berkaitan dengan berbagai aspek kemasyarakatan. Antara lain: ekonomi, pendidikan, sistem peradilan, patriotisme, kesejahteraan sosial, dan sebagainya.
Ideologi politik memiliki dua dimensi, yakni tujuan (bagaimana masyarakat harus berjalan) dan metode-metode. Metode yang dimaksud adalah cara-cara yang paling tepat untuk mencapai pengaturan yang ideal tersebut. Ideologi-ideologi juga mengidentifikasi dirinya lewat posisinya dalam spektrum politik (misalnya: kiri, tengah, kanan), walaupun presisi pemosisian ini bisa jadi kontroversial. Ideologi juga bisa dibedakan secara jelas dari strategi-strategi politik (misalnya, populisme).
Maka, ketika Denny mengatakan Demokrasi Pancasila perlu diperbarui, ada pertanyaan besar yang butuh jawaban. Ada banyak aspek dari Demokrasi Pancasila. Aspek-aspek mana yang perlu diperbarui? Dan, sebelum aspek-aspek itu diperbarui, apakah kita sudah cukup jelas atau berada dalam pemahaman yang sama, tentang apa yang dimaksud dengan “Demokrasi Pancasila” itu sendiri?
Kalau kita melihat Demokrasi Pancasila dari praktik nyata yang dilakukan di setiap pemerintahan, sejak Proklamasi Kemerdekaan, maka Demokrasi Pancasila ternyata punya wajah yang berbeda-beda. Wujud Demokrasi Pancasila di zaman Soekarno sangat kontras dengan di zaman Soeharto. Belum lagi kita menyebut zaman presiden-presiden pasca Soeharto.
Untuk benar-benar diterapkan, Demokrasi Pancasila harus mempunyai “rumus-rumus turunan” yang lebih membumi dan operasional. Misalnya, kalau kita bicara tentang penerapan demokrasi liberal di Amerika Serikat sebagai suatu ideologi, kita bisa menjabarkan konsep-konsep operasionalnya berupa sistem ekonomi kapitalis.
Tetapi jika kita bicara tentang sistem Ekonomi Pancasila, sebagai salah satu konsep operasional dari Demokrasi Pancasila, ternyata belum ada kesatuan pandangan bagaimana mewujudkan Ekonomi Pancasila. Hal yang sering disebut sebagai ciri Ekonomi Pancasila biasanya adalah merujuk ke pasal 33 UUD ’45, yakni: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Tetapi apakah sistem Ekonomi Pancasila itu memang benar-benar terwujud dalam praktik? Nyatanya, selama beberapa tahun terakhir, Indonesia yang ber-Demokrasi Pancasila menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Dengan ciri antara lain: Keterbukaan dan ketergantungan pada kapital asing, ketergantungan pada utang luar negeri, liberalisasi arus keuangan, privatisasi besar-besaran pada perusahaan negara, penyerahan layanan publik pada mekanisme pasar, dan liberalisasi perdagangan.
Pertanyaan berikutnya, apa yang harus diperbarui dari Demokrasi Pancasila? Jika yang diperbarui adalah tentang tujuannya, maka saya berpendapat, hal itu terlalu prinsipil untuk disebut sebagai sekadar “pembaharuan.” Mengubah tujuan bukanlah sekadar upgrading, seperti kita merenovasi sebuah bangunan. Tetapi ini sudah mengubah total bangunan itu sendiri, sehingga kita mungkin sudah tidak mengenali sisa-sisa bangunan lama di dalam wujud bangunan yang baru.
Maka, yang masih dimungkinkan dengan sebutan “pembaharuan” itu adalah dalam hal metode-metode. Yakni, bagaimana cara-cara yang paling pas untuk mencapai ideal yang diidamkan. Di sini Denny memasukkan peran agama. Demokrasi Pancasila yang diperbarui ini memberikan peran agama yang lebih besar di ruang publik.
Sayang, tidak ada penjelasan yang memadai tentang apa yang dimaksud Denny dengan “peran agama yang lebih besar” di ruang publik. Apakah itu berarti dominasi perspektif keagamaan dalam memandang, menilai, mengevaluasi, bahkan menghakimi berbagai isu-isu kemasyarakatan?
Apakah “penerapan perda syariat” termasuk dalam “peran agama yang lebih besar,” yang dimaksud Denny tersebut? Isu perda syariat ini pernah ramai di media sosial pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Ada tudingan seolah-olah pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sudah membuat “komitmen” dengan ormas-ormas Islam tertentu yang mendukungnya, untuk menerapkannya di Jakarta. Buat perbandingan, coba kita lihat contoh Iran.
Di Republik Islam Iran, kita kenal konsep velayat-e fakih (pemerintahan oleh para ahli hukum agama yang adil), yang menjadi landasan didirikannya rezim gabungan demokratis dan teokratis di Iran sejak Revolusi Islam 1979. Ada pemilu parlemen dan pemilihan Presiden yang berlangsung demokratis.
Namun, jika ada undang-undang yang oleh ulama dianggap bertentangan dengan hukum atau ajaran Islam, undang-undang itu bisa dibatalkan oleh ulama Iran. Jadi Iran adalah negara yang demokratis di Timur Tengah. Jauh lebih demokratis daripada Arab Saudi atau monarki-monarki Arab lainnya, dimana kekuasaan diwariskan turun-temurun. Namun, peran agama juga sangat besar dan menentukan di Iran.
Sebelum ada pembaharuan yang disebutkan Denny, peran agama pasti sudah ada di ruang publik, meski tidak sangat dominan. Jadi, sebetulnya tidak ada perubahan prinsipil dari “Demokrasi Pancasila” format lama. Bedanya hanya dalam gradasi atau level dominasi peran agama tersebut. Saya menduga, peningkatan peran agama yang dimaksud Denny itu tidak sampai ke level seperti di Iran. Jadi peningkatan perannya sebetulnya juga tidak terlalu drastis.
Ideologi politik sebagian besar berkaitan dengan bagaimana mengalokasikan kekuasaan dan ke arah tujuan mana kekuasaan itu harus digunakan. Masing-masing ideologi politik mengandung ide-ide tertentu tentang apa yang dianggap sebagai bentuk sistem pemerintah terbaik (demokrasi, monarki, teokrasi, khilafah, dan sebagainya) dan sistem ekonomi terbaik.
Nah, dalam “pembaharuan” yang digagas Denny, apakah ada yang berubah dalam alokasi kekuasaan atau arah tujuan di mana kekuasaan itu digunakan? Sejauh yang saya tangkap, tampaknya tidak ada perbedaan yang jelas atau signifikan, antara kondisi sebelum dan sesudah pembaharuan. Demokrasi Pancasila sebelum dan pasca pembaharuan Denny sebetulnya tidak mengalami perubahan, dalam hal alokasi kekuasaan dan arah tujuan dimana kekuasaan itu digunakan
Sedangkan, tentang sistem pemerintah terbaik dan sistem ekonomi terbaik, pasca pembaharuan yang diusulkan Denny, saya juga belum menangkap gambaran yang jelas. Tapi tampaknya, tidak ada perubahan berarti dalam sistem pemerintahan. Kita masih punya lembaga Presiden, Wakil Presiden, DPR, MPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, dan sebagainya. Tentang sistem ekonomi, juga belum ada penjelasan lebih jauh. Padahal sistem ekonomi ini bersifat krusial. Namun, dalam hal ini tampaknya juga tidak ada perubahan signifikan.
Dari semua uraian di atas, saya berpendapat, gagasan Denny yang mengusulkan “pembaharuan” pada Demokrasi Pancasila, tetap harus diapresiasi. Hal ini karena memang demokrasi kita harus selalu siap merespon perkembangan zaman, baik karena dinamika internal (domestik) maupun perubahan global.
Demokrasi kita, apakah mau disebut dengan Demokrasi Pancasila atau sebutan lainnya, harus menjadi ideologi terbuka yang bisa selalu ditafsirkan ulang, untuk menghadapi tantangan zaman.
Namun, “pembaharuan” yang digagas Denny adalah sebuah kerja besar dan cukup berat. Denny tentu menyadari hal itu. Bisa dipahami, tidak cukup ruang bagi Denny untuk menjelaskan gagasan besarnya dalam sebuah artikel pendek, sehingga wajar jika muncul banyak pertanyaan.
Barangkali, Denny perlu meluangkan lebih banyak waktu, untuk merinci gagasannya tentang “pembaharuan” Demokrasi Pancasila. Hal yang harus dijawab, adalah: Aspek-aspek dan komponen-komponen apa dari Demokrasi Pancasila itu yang mengalami pembaharuan? Bagaimana bentuk dan isi pembaharuan itu? Dan, seberapa mendalam level atau tingkatan perubahannya?
Jika Denny sudah menjabarkan jawaban (paling tidak secara kasar atau garis besar) atas pertanyaan-pertanyaan ini, barulah kita bisa berdiskusi lebih lanjut. Yakni, untuk mengangkat isu pembaharuan Demokrasi Pancasila ini ke tingkatan yang lebih tinggi (new level).
Seperti yang saya nyatakan di atas, ini memang sebuah kerja besar dan kerja berat. Denny sudah mengawali dengan langkah pertama. Tugas kita mendorong Denny, sekaligus ikut berpartisipasi, dalam menjalani langkah-langkah berikutnya. ***
Artikel ini ditulis oleh: