Rinto Setiyawan, Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP*

PERDEBATAN tentang perlunya Amandemen Kelima UUD 1945 bukan sekadar wacana akademik atau ambisi politik segelintir kelompok. Di balik gagasan ini, ada kegelisahan mendasar: negara yang sejatinya milik rakyat, kian hari terasa menjauh dari pemilik kedaulatan itu sendiri. Kedaulatan rakyat yang dahulu ditegaskan secara terang dalam naskah asli UUD 1945, kini lebih banyak hidup sebagai slogan, bukan sebagai kenyataan dalam praktik ketatanegaraan.

  1. Mengembalikan Kedaulatan kepada Rakyat, Bukan kepada Oligarki

Dalam naskah asli UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) jelas menyebut bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Rumusan ini menegaskan bahwa ada “rumah bersama” tempat kedaulatan rakyat dijalankan secara kolektif melalui permusyawaratan. Setelah amandemen, frasa “dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dihapus dan diganti menjadi “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Sepintas tampak rapi dan modern, tetapi pada praktiknya, pelaksanaan kedaulatan menjadi kabur: siapa sebenarnya pelaksana utama kedaulatan rakyat?

Dalam sistem sekarang, partai politik dan eksekutif menjadi gerbang utama segala akses kekuasaan. Rakyat memang memilih secara langsung, tetapi pilihan itu sudah disaring ketat oleh mekanisme partai. Demokrasi pemilu berjalan, namun kedaulatan rakyat dipersempit menjadi ritual lima tahunan di bilik suara. Politik uang, dominasi media, dan transaksi kekuasaan justru tumbuh subur. Di titik inilah Amandemen Kelima menjadi penting untuk mengembalikan kejelasan arsitektur kedaulatan rakyat: rakyat sebagai pemilik, MPR sebagai mandatarisnya.

MPR perlu direformulasi ulang, bukan sebagai “lembaga biasa”, tetapi sebagai representasi utuh bangsa: cendekiawan, pemuka agama, TNI-Polri, budayawan, perwakilan daerah, adat, kerajaan/keraton, dan profesi. Dengan begitu, kedaulatan rakyat tidak hanya diwakili oleh elite partai, tetapi oleh kekuatan moral, intelektual, dan kultural bangsa secara menyeluruh.

  1. Menyempurnakan Amanat Proklamasi 1945

Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya pernyataan merdeka, tetapi juga perintah untuk memindahkan kekuasaan dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Secara formal, pengakuan kedaulatan memang terjadi setelah KMB tahun 1949. Namun secara substansial, distribusi kekuasaan di dalam negeri belum pernah benar-benar “seksama”.

Hari ini, Presiden memegang konsentrasi kekuasaan yang sangat besar: mengangkat dan memberhentikan banyak pejabat tinggi, mempengaruhi lembaga penegak hukum, dan mengeluarkan berbagai kebijakan strategis. Jika tidak diawasi secara memadai, ini melahirkan apa yang bisa disebut sebagai “absolutisme terselubung”. Amandemen Kelima diperlukan untuk menyempurnakan amanat Proklamasi: memastikan kekuasaan tidak tersentral di satu tangan, tetapi tersebar, diawasi, dan dipertanggungjawabkan secara jelas di hadapan rakyat.

Termasuk di dalamnya, menghadirkan kembali unsur adat, kerajaan, dan keraton Nusantara dalam MPR sebagai simbol bahwa kedaulatan negara ini bersandar bukan hanya pada struktur modern, tetapi juga pada warisan sejarah dan nilai kultural yang selama ini menjadi penopang kehidupan berbangsa.

  1. Memisahkan Secara Tegas antara Negara dan Pemerintah

Salah satu kelemahan mendasar sistem sekarang adalah tercampurnya konsep “negara” dan “pemerintah”. Presiden memegang dua peran sekaligus: Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam logika organisasi modern, ini problematis. Pemilik dan pelaksana tugas seharusnya dibedakan: pemilik menetapkan arah dan mengawasi, pelaksana menjalankan mandat.

Amandemen Kelima menawarkan penegasan: negara sebagai pemilik kedaulatan diwakili oleh MPR, sedangkan Presiden difokuskan sebagai kepala pemerintahan. MPR, bersama lembaga tinggi negara lain, menjalankan fungsi perlindungan terhadap rakyat, sementara Presiden mengatur dan melayani rakyat lewat kebijakan dan administrasi pemerintahan sehari-hari.

Dengan pemisahan ini, fungsi negara dapat dipahami dalam tiga ranah besar: melindungi, mengatur, dan melayani rakyat. Pemerintah tidak lagi merasa “memiliki” negara, melainkan menjadi penyelenggara mandat yang sewaktu-waktu dapat dikoreksi dan diatur ulang oleh pemilik kedaulatan, yakni rakyat melalui MPR.

  1. Mengembalikan Pancasila sebagai Nafas, Bukan Sekadar Hiasan

Sejak amandemen-amandemen sebelumnya, jarak antara praktik kekuasaan dan nilai Pancasila kian melebar. Banyak produk undang-undang dan kebijakan publik yang terasa lebih tunduk pada logika pasar dan kepentingan jangka pendek ketimbang pada keadilan sosial, gotong royong, dan persatuan. MPR yang dulu menjadi mandataris rakyat dan penjaga arah negara, justru diposisikan sejajar dengan lembaga lain dan kehilangan fungsi strategisnya.

Akibatnya, lahir apa yang dirasakan rakyat sebagai “penjajahan regulasi”: aturan dibuat bukan untuk melindungi, tetapi untuk melegalkan perampasan hak dan kekayaan negara secara sah menurut prosedur, walaupun bertentangan dengan rasa keadilan. Amandemen Kelima diperlukan untuk mengembalikan Pancasila sebagai sumber etika, arah kebijakan, dan roh konstitusional yang hidup.

Artinya, setiap kebijakan dan produk hukum harus diuji konsistensinya dengan sila-sila Pancasila, bukan hanya dicocokkan dengan kepentingan politik sesaat. Hukum harus kembali menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan. Negara harus kembali dipahami sebagai alat rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sebagai panggung perebutan rente di antara elite.

Penutup

Urgensi Amandemen Kelima UUD 1945 terletak pada satu persoalan pokok: kita ingin tetap memelihara demokrasi yang dangkal dan prosedural, atau kita berani kembali kepada kedaulatan rakyat yang substantif? Amandemen Kelima bukan ajakan mundur ke masa lalu, melainkan upaya memulihkan roh asli konstitusi: rakyat sebagai pemilik kedaulatan, Pancasila sebagai pedoman hidup, MPR sebagai mandataris rakyat, dan Presiden sebagai pelaksana mandat, bukan pemilik negara.

Tanpa keberanian merombak desain ketatanegaraan secara jujur dan mendasar, berbagai krisis keadilan, hukum, dan ekonomi yang dirasakan rakyat hari ini hanya akan berputar dalam siklus yang sama. Amandemen Kelima adalah tawaran untuk memutus siklus itu dan memberi kesempatan baru bagi republik ini untuk benar-benar kembali ke pangkuan rakyatnya.

File Naskah Akademik dan Rancangan Amandemen Kelima UUD 1945, telah dipersembahkan dari Sekolah Negarawan kepada seluruh rakyat Indonenesia. Dokumen tersebut dapat diunduh melalui: https://ebook.sekolahnegarawan.id/

*Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi