Oleh: Kyai Dafid Fuadi⁩

Jakarta, aktual.com – Menurut fiqh yang mu’tamad (dipedomani) bahwa yang punya haqqul itsbat (otoritas menetapkan Awal Ramadhan, 1 Syawwal (Idul Fitri) dan 10 Dzul Hijjah (Idul Adha) adalah Pemerintah, bukan yang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء : 59).

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. al-Nisa’ : 59).

Ayat di atas menegaskan, bahwa umat Islam wajib taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada ulil amri atau pemerintah. Kewajiban taat kepada pemerintah, termasuk dalam penentuan awal puasa dan hari raya. Dalam kitab-kitab tafsir diterangkan:

قَالَ سَهْلٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ التُّسْتَرِيُّ : أَطِيْعُوا السُّلْطَانَ فِيْ سَبْعَةٍ : ضَرْبِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ وَالْمَكَايِيْلِ وَاْلأَوْزَانِ وَاْلأَحْكَامِ وَالْحَجِّ وَالْجُمْعَةِ وَالْعِيْدَيْنِ وَالْجِهَادِ.

“Sahal bin Abdullah al-Tustari berkata: “Taatlah kalian kepada penguasa dalam tujuh perkara; 1) pembuatan mata uang 2) standarisasi takaran dan timbangan, 3) penetapan hukum-hukum, 4) haji, 5) Jum’at, 6) Dua hari raya ,(Idul Fitri dan Idul Adha) dan 7) jihad”. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 5 hlm 167; dan Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, juz 3 hlm 290). (Lihat Kitab Nushushul Akhyar dan Risalah Fi Maqufinan Haulash Shaum Wal Ifthar, karya KH. Maimun Zubair)

Keharusan mengikuti pemerintah dalam hal penentuan waktu ibadah, juga diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَة عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَه وَالتِّرْمِذِي وَصَحَّحَهُ

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa kalian adalah hari kalian semua berpuasa. Idul fitri kalian, hari kalian beridul fitri. Idul adha kalian, hari kalian berkurban.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi dan menilainya shahih, dan Ibnu Majah).

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ الهِa صَلَّى الهُe عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ: رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ .

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Idul fitri adalah ketika orang-orang beridul fitri. Idul adha adalah ketika orang-orang berkurban.” (HR. al-Tirmidzi [802]).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Hari puasa adalah hari dimana kalian sama-sama berpuasa; hari berbuka adalah hari dimana kalian sama-sama berbuka; dan hari qurban adalah hari dimana kalian sama-sama berqurban.” (HR. At-Tirmidzi : 697)

Al-Imam At-Tirmidzi mengomentari hadits ini :

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ: إنَّمَا مَعْنَى هَذَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

“Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, dengan mengatakan : sesungguhnya makna hadits ini ialah, ‘berpuasa dan berhari raya haruslah bersama dengan masyarakat [tempat ia tinggal] dan mayoritas manusia [di wilayah nya]’.” (HR. At-Tirmidzi, 3/71)

Al-Imam As-Sindi juga berpendapat :

والظاهر أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها دخل وليس لهم التفرد فيها بل الأمر فيها إلى الإمام والجماعة ويجب على الآحاد اتباعهم للإمام والجماعة وعلى هذا فإذا رأى أحد الهلال وردّ الإمام شهادته ينبغي أن لا يثبت في حقه شيء من هذه الأمور ويجب عليه أن يتبع الجماعة في ذلك

“Dan yang nampak bahwasanya makna hadits ini ialah : urusan-urusan ini [penetapan awal dan akhir Ramadhan] bukan lah wewenang individu-individu di dalam menentukannya, dan tidak berhak mereka berkesendirian di dalam memutuskan [awal dan akhir Ramadhan].

Akan tetapi wewenang/urusan ini diserahkan kepada penguasa dan masyarakat [di wilayah ia tinggal]. Wajib bagi tiap-tiap individu mengikuti keputusan penguasa dan masyarakat. Oleh karena nya jika ada seseorang melihat hilal dan penguasa menolak kesaksiannya, maka sepatutnya [diyakini] dia tidak memiliki hak apapun untuk mengintervensi/ikut campur dalam keputusan itu, dan sudah menjadi keharusan ia mengikuti pilihan masyarakat [tempat ia tinggal] dalam masalah itu.” (Hasiyah As-Sindi, 1/509)

Terkait hadits :

الفطر يوم يفطر الناس، والأضحى يوم يضحي الناس

“Hari Raya adalah hari dimana manusia berhari raya, dan hari qurban adalah hari dimana manusia berqurban.”

وقيل: في معنى الحديث : إنه إخبار بأن الناس يتحزبون أحزابا ويخالفون الهدي النبوي

“Disebutkan bahwa makna hadits ini : sesungguhnya hadits ini mengandung ikhbar [pemberitahuan] bahwasanya manusia [di akhir zaman] akan saling berkelompok-kelompok [dalam menentukan hari raya] dan akan terang-terangan menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu alayhi wasallam.” (Nailul Authar, 3/370)

Sebagaimana itu terjadi hari ini di Indonesia. Masing-masing orang mengambil keputusan nya sendiri, sesuai dengan pilihan kelompoknya.

Jelas bahwa yang dimaksud dengan petunjuk Nabi adalah sunnah fi’liyah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan yang diikuti oleh para sahabat, dimana keputusan penetapan awal dan akhir Ramadhan diserahkan kepada pemimpin, bukan diserahkan kepada masing-masing individu masyarakat.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.” (HR. Abu Dawud No. 2342)

Dari hadits ini jelas bahwa keputusan berada di tangan Rasulullah [sebagai penguasa], dan keputusan ini tidak diserahkan kepada masing-masing individu.

Disebutkan di dalam hadits lain :

أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

“bahwasanya Amir Makkah telah berkhutbah, ia berkata; Rasulullah shallallahu alayhi wasallam mengamanatkan kepada kami agar melaksanakan ibadah [haji] berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil [yang berhasil merukyat] maka kami melaksanakan ibadah berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud No. 2338)

Di dalam hadits ini jelas bahwa amanat untuk menentukan hari-hari manasik diserahkan kepada Amir [Pemimpin] Makkah, dan bukan diamanatkan kepada tiap-tiap orang di Makkah secara bebas.

Seandainya penetapan itu diserahkan kepada masing-masing secara bebas, tentu akan terjadi perselisihan di dalam pelaksanaan wukuf di Arafah. Orang-orang yang mengambil metode hisab [perhitungan astronomis], boleh jadi akan melaksanakan wukuf di Arafah pada hari sebelum orang-orang yang mengambil metode rukyatul hilal.

Dan ini tidak terjadi di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Suatu wilayah, harus mengikuti apa yang diputuskan oleh penguasa wilayah tersebut, meski berbeda dengan keputusan di wilayah lain. Karena, wajar jika berbeda wilayah/negeri, kemudian berbeda pula penetapan awal dan akhir Ramadhan nya. Tapi tidak wajar jika satu wilayah, bahkan satu rumah, kemudian berbeda awal dan akhir Ramadhan nya. Satu wilayah itu satu ketetapan.

Syaikh Ali Jum’ah :

لا ينبغي أن يصوم أبناء أي بلد ويفطروا على خلاف الرؤية التي تثبت في هذا البلد، لأن هذه المخالفة تشق وحدة المسلمين، وتزرع بينهم بذور الفتنة والفرقة

“Tidak boleh untuk melaksanakan puasa penduduk di wilayah manapun, begitu juga tidak boleh berhari raya, menyelisihi ketetapan rukyatul hilal yang telah ditetapkan di wilayah tersebut [oleh pihak berwenang]. Sebab, menyelisihi apa yang ditetapkan pihak berwenang ini akan merusak persatuan kaum muslimin, dan menanam benih-benih fitnah dan perpecahan di antara mereka.” (Ali Jum’ah, Al-Bayan Li Ma Yushgilul Adzhan, 1/308)

Kembali mengingatkan bahwa sebagaimana dinyatakan oleh Jumhurul Ulama; mereka sepakat bahwa penetapan awal Ramadhan itu dilakukan dengan salah satu dari 2 (dua) cara, yaitu;
1. Dengan ru’yah (melihat) hilal (tanggal) bulan Ramadhan, bila tidak ada yang menghalangi pandangan seperti mendung, awan, asap, debu dan sebagainya.

2. Dengan istikmal (menyempurnakan bulan Sya’ban atau Ramadhan 30 hari, bila tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan ada penghalang Ru’yatul hilal.
Hal ini berdasar hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا

“Berpuasalah kalian apabila melihat bulan, dan berbukalah (berhari raya-lah) kalian, apabila telah melihat bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakan bulan sya’ban itu sampai dengan 30 hari”. (HR. Al Bukhari)

Dalam keyakinan, Ru’yah adalah Pegangan dan Pedoman yang diyakini untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada keputusan hasil Ru’yah, sebagai mana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوا الهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَاءِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ (رواه البخارى)

“Dari Abdullah Bin Umar RA. Bahwa suatu ketika Rosululloh bercerita tentang bulan Ramadhan. Rosul bersabda : janganlah kalian berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka (hari raya) sampai kamu melihat bulan, namun jika pandanganmu tertutup mendung, maka perkirakanlah jumlah harinya” (HR. Al Bukhari)
Kalaupun ada golongan atau kelompok lain di negara kita yang menggunakan selain Ru’yatul Hilal dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, itu lebih dikarenakan kurang tepat dalam menempatkan dan mempedomani Hujjah/Dalil semisal Hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ اَنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتَبَ وَلاَ نَحْسُبٌ اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ

“Dari Ibnu Umar RA. Dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, kami adalah umat yang tidak dapat menulis dan berhitung satu bulan itu seperti ini. Seperti ini maksudnya : satu saat berjumlah 29 hari dan pada waktu lain 30 hari”. (HR. Al Bukhari).

Hadis di atas dijadikan landasan untuk melemahkan metode Ru’yah al Hilal sebagai mana yang kita yakini. Dalam pemahaman mereka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggunakan Ru’yah, karena dizaman Rasul Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, belum mampu melakukan Hisab / perhitungan Falak, Oleh karenanya, bagi mereka, metode Ru’yah Al Hilal sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang yang serba bertehnologi canggih ini di mana Metode Hisab (Penentuan awal Ramadhan dengan Metode Perhitungan) didukung oleh dan didasarkan pada hitungan berbasis Komputer.
Pemahaman tersebut sungguh belum bisa diterima karena kenyataannya di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, telah ada Sahabat-Sahabat yang mahir Ilmu Hisab terutama seperti sahabat Ibnu Abas RA. Kita meyakini dan mengikuti; bahwa Ru’yah Al Hilal cara yang diajarkan, dianjurkan dan yang telah dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan; bukan dengan Hisab, atau malah dengan mengikuti keputusan Negara lain yang berbeda Matla’.

Jadi Fungsi Ilmu hisab sebagai penopang bagi ru’yat yang berkualitas dan ru’yat sebagai penentu masuknya bulan (syahr) baru. Di samping ditopang oleh hasil hisab yang akurat, ru’yat harus dilakukan pada waktunya dan oleh peru’yat yang dipercaya agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk dijadikan dasar penentu awal bulan-bulan penting, hasil ru’yat masih diperlukan itsbat hakim selanjutnya baru dijadikan dasar penetapan awal bulan oleh Pemerintah.

Al ‘Allamah KH. Maimun Zubair menjelaskan :

وَمَعْلُومٌ قَطْعًا أَنَّ إِثْبَاتَ أَوَّلَ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُورِ لاَسِيَّمَا رَمَضَانَ وَالشَّوَّالِ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِ الْقَاضِي أَوْ وَزِيْرِ الشُّؤُونِ الدِّيْنِيَّةِ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ وَلاَهَيْئَة مِنَ الْهَيْئَاتِ حَقُّ اْلإِثْبَاتِ وَإِنْ سَمُّوهُ بِاسْمِ اْلإِخْبَارِ، وَلاَ يَجُوزُ لِأَحَدٍ مُخَالَفَةُ ذَلِكَ لِمَا فِيْهِ مِنْ إِيْقَاعِ الْفِتْنَةِ وَالتَّفَرُّقِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي أُمُورِ دِيْنِيْهِمْ. (رسالة في موقفنا حول الصوم والإفطار،ص.5)

Dan sudah diketahui secara pasti bahwa mengitsbathkan (menetapkan) awal salah satu bulan dari bulan-bulan terutama bulan Ramadhan dan Syawal adalah hak Qadhi (Pemerintah) atau Menteri Agama, maka tidak ada satu orangpun atau tidak ada satu organisasi pun yang memiliki haqqul itsbat (hak menetapkan awal bulan tersebut), meskipun mereka menamainya dengan istilah ikhbar (menginformasikan). Dan tidak boleh seorangpun menyalahi ketetapan pemerintah tersebut, karena dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslimin dalam perkara agama mereka. (lihat Risalah Fi Mauqifina Haulash Shaum wal Ifthar, karya al-Syaikh Maimun Zubair, hal. 5).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain