Jakarta, aktual.com – Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, mengkritik tajam wacana pemilihan gubernur oleh pemerintah pusat yang belakangan ramai dibicarakan. Ia menyebut langkah tersebut sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
“Jelas langkah mundur demokrasi. Padahal dulu sebelum reformasi 1998, sejak lama kepala daerah ditunjuk langsung pemerintah pusat, hasilnya juga nihil,” kata Adi kepada wartawan, Selasa (29/7).
Ia menilai model penunjukan pusat akan mengembalikan praktik sentralisasi kekuasaan dan menutup ruang aspirasi daerah. Padahal, Indonesia baru menjalani dua dekade pelaksanaan pilkada langsung.
Adi juga mempertanyakan ketakutan elite terhadap kekuatan suara rakyat. “(Gubernur dipilih pusat) lebih banyak negatifnya. Misalnya rakyat di daerah tak punya kemewahan pilih pemimpinnya secara langsung, karena kepala daerah hanya dipilih segelintir DPRD dan ditunjuk pusat. Daerah hanya jadi objek kepentingan pusat, daerah tak bisa berinovasi karena didikte dari atas,” sambungnya.
Ia menilai dalih mahalnya ongkos politik untuk mengganti sistem pemilihan justru menyesatkan. Menurutnya, partai politik adalah kunci utama untuk menekan biaya politik.
“Buktinya, yang bertarung di pilkada hampir 1.000 persen kader partai, yang bikin aturan main juga kader partai di parlemen dan pemerintah. Malah yang dikorbankan rakyat. Supaya ongkos politik murah ya kuncinya di partai politik. Bukan kepala daerah dipilih DPRD atau ditunjuk pusat,” tegas Adi.
Reformasi, menurutnya, lahir karena rakyat ingin hak menentukan pemimpinnya sendiri. “Kalau para elite itu mau kepala daerah dipilih DPRD atau ditunjuk langsung pusat, mestinya sekalian saja usulkan pilpres dipilih MPR. Kalau perlu tak usah pemilu sekalian,” ucap Adi dengan nada sinis.
Wacana ini sebelumnya mencuat dari Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Ia menyampaikan bahwa PKB tengah mengkaji ulang sistem pilkada langsung atas dasar dua pertimbangan utama.
“Jadi sebetulnya hasil pertemuan NU di beberapa kali munas, musyawarah nasional memerintahkan kepada PKB untuk mengkaji ulang pemilihan kepala daerah secara langsung. Satu, kesimpulannya seluruh kepala daerah habis biaya mahal untuk menjadi kepala daerah, yang kadang-kadang tidak rasional. Yang kedua, ujung-ujungnya pemerintah daerah juga bergantung kepada pemerintah pusat dalam seluruh aspek, belum bisa mandiri atau apalagi otonom,” kata Cak Imin di JCC Senayan, Rabu (23/7).
Ia mengusulkan dua pola pemilihan kepala daerah. “Pola yang pertama gubernur sebagai perwakilan pemerintahan pusat ditunjuk oleh pemerintah pusat. Gubernur, tetapi bupati karena dia bukan perwakilan pemerintah pusat maka bupati dipilih oleh rakyat melalui DPRD,” tambahnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















