Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo meyampaikan sambutan saat persemian Klinik Elektronik Laporan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (e-LHKPN) di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2). Program kerjasama DPR dan KPK membentuk klinik e-LHKPN untuk mempermudah anggota DPR mengisi dan memperbaharui LHKPN. Pengisian LHKPN menggunakan system online. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin mengusulkan agar pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut beberapa pokok bersifat genting, sebagai syarat penerbitan Perppu, yang harus direvisi dari UU Tipikor.

Beberapa pokok genting tersebut yaitu korupsi swasta (private sector), perdagangan pengaruh (trading influence), penambahan kekayaan dengan tidak wajar (illicit enrichment) dan pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery).

“Kami mohon dukungan Menkumham dalam waktu sependek ini,” kata Agus Rahardjo, dalam diskusi publik Hasil Review Putaran I dan II Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) di Gedung KPK Jakarta, Selasa (27/11).

“Kita ingin punya UU Tipikor yang baru, UU Tipikor yang mengakomodasi gap kita dengan UNCAC karena ada hal yang sangat penting, mendesak, genting, dan harus diwujudkan yaitu perubahan UU Tipikor,” ujar Agus pula.

Berdasarkan hasil review Putaran I UNCAC pada 2010-2015 terhadap kinerja pemberantasan korupsi Indonesia yaitu mengenai pemidanaan dan penegakan hukum serta kerja sama internasional, Indonesia sudah menyelesaikan 8 rekomendasi dan 1 rekomendasi parsial dari total 32 rekomendasi putaran pertama.

Sedangkan review Putaran II pada 2016-2018 mengenai pencegahan korupsi dan pemulihan aset hasil korupsi, dihasilkan 14 rekomendasi terkait pencegahan dan tindak pidana pencucian uang serta 7 rekomendasi terkait pemulihan aset.

Dari kedua review tersebut, Indonesia diminta untuk memperbaiki UU Tipikor, UU Pemberian Bantuan Hukum Timbal Balik Pidana, UU Ekstradisi, UU Perampasan Aset, UU KUHAP agar memasukkan illicit enrichment, korupsi sektor swasta, trading in influence, suap terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional.

“Perubahan UU No 31/1999 itu, penting dan mendesak untuk dilakukan karena kalau KPK tenaganya cukup hari ini, kita bisa OTT setiap hari, hampir semua bupati dan banyak pejabat masih melakukan tindak pidana yang dilakukan seperti yang dilakukan para bupati yang kita tangkap, jadi kegentingannya penyelenggara negara bisa habis karena ditangkapi,” ujar Agus.

Agus juga menggarisbawahi mengenai penting peran masyarakat juga masuk ke UU Tipikor.

“Yang perlu segera masuk sebetulnya perlu peran serta masyarakat, di situ disampaikan peran masyarakat dalam negara merupakan hak dan kewajiban untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, itu esensinya penting karena selama ini penegak hukum yang bergerak, masyarakat belum bergerak,” kata Agus.

Namun untuk merevisi UU Tipikor, undang-undang itu harus masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) lebih dulu dan hal itu masih harus menempuh jalan panjang.

“Kalau jalur prolegnas panjang, bagaimana kalau kita membuat perppu. Kalau itu bisa jalan kan relatif cepat, DPR kan tinggal lihat mengesahkan atau tidak. Tapi draf perppu sudah kita siapkan dengan baik, kami di KPK sudah berjalan, tapi periode ini tidak lama berjalan, tapi semoga saja bisa,” ungkap Agus.

Menanggapi usulan tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berada di jalur yang tepat, namun berjalan lambat. “Kalau perppu akan menimbulkan perdebatan banyak pihak, apalagi mengenai kondisi kedaruratannya, terutama saat ini adalah tahun politik,” kata Yasonna dalam diskusi yang sama.

Menurut Yasonna, dalam 1-2 tahun ini intensitas pembahasan UU terkonsentrasi kepada UU tertentu, namun target prolegnas pun meleset.

“Saya terkejut target-target prolegnas kita jauh dari harapan, dari setiap tahun seharusnya 50 UU yang selesai 10 UU. Ini yang membuat prioritas untuk melahirkan perundangan terbatas, tapi kalau ada komitmen politik misalnya dimasukkan UU Tipikor yang diinisasi oleh KPK dengan melibatkan seluruh stakeholders, saya bisa karena kalau (usulan UU) dari DPR suuzonnya masih tinggi sekali,” kata Yasonna.

Apalagi, menurut Yasonna, dalam pembahasan RUU Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang ingin memasukkan perdagangan pengaruh (trading in influence) dan korupsi sektor swasta, reaksi dari pihak swasta pun cukup kencang.

“Jadi kita buat saja ‘time table’, kalau setelah pemilu teman-teman yang sudah tidak terpilih akan ogah-ogahan datang (sidang) kalau begitu masukkan RUU Tipikor ini dalam Prolegnas 2020 yang akan diputuskan pada 2019, maka itu jadi agenda prioritas kita,” ujar Yasonna.

Sedangkan perwakilan dari DPR yaitu Ketua Komisi III yang membidangi hukum Kahar Muzakir megnatakan bahwa DPR mendorong kerja pemberantasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan KPK.

“Masih banyak yang belum masuk dalam UU Tipikor ini dan kalau dianggap perlu direvisi, maka kami dari DPR sangat mendukung upaya-upaya ini. Tidak ada orang di republik ini yang tidak setuju dilakukan pemberantasan korupsi, tidak ada masalah tapi memang bisa ada resistensi dari beberapa pihak,” kata Kahar pula.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan