Presiden Jokowi

Jakarta, Aktual.com – Politisi PDIP Joko Widodo (Jokowi) diprediksi bakal kesulitan saat meminang pendamping pada ajang pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Tarik menarik antara kepentingan partai koalisi dan sosok yang cocok sebagai salah satu penyebabnya.

Peneliti asal Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi menyatakan pemilihan calon wakil presiden (Cawapres) yang menjadi pendamping dari Jokowi sebagai petahana akan memiliki kompleksitas yang lebih tinggi ketimbang Pilpres 2014 lalu.

“Kenapa? Karena siapa pun yang mendampingi Jokowi di 2019 dan kalau mereka menang, itu akan menjadi capres yang paling kuat di 2024,” kata dia usai menjadi pembicara dalam pemaparan survei LSI di Jakarta, Rabu (15/11).

Kompleksitas tersebut kata dia juga didorong oleh tingkat elektabilitas Jokowi yang dinilai Burhan masih terbilang rendah untuk seorang petahana. Oleh karenanya, ia pun menyebut elektabilitas sebagai salah satu syarat dari Cawapres yang akan dipilih Jokowi kelak.

Berdasar survei yang dilakukannya, Burhanudin mengungkapkan jika perolehan suara Jokowi masih rendah di Wilayah Sumatera, Jawa Barat dan Banten.

“Terutama dari segmen Islam itu masih relatif kurang kuat dari segmen pemilih islam modernis. Karena itu Cawapresnya harus mampu menutupi dari sisi kekurangan elektoral,” jelas Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ini.

Selain tingkat elektabilitas, Burhan pun menyebut dua syarat lainnya, yaitu memiliki jiwa teknokratik dan tingkat penerimaan parpol koalisi. Meskipun ketiga syarat ini tidak dipisahkan sama lain, ia menyiratkan jika syarat terakhir akan sangat menentukan.

“Nanti kalau PKB misalnya mencalonkan Muhaimin Iskandar (sebagai cawapres), apakah PDIP dan Golkar yang suaranya lebih besar itu ikhlas mendukung Cak Imin. Itu kan satu hal yang harus didiskusikan,” kata Burhanuddin.

“Atau misalkan kalau muncul nama Puan (Maharani Soekarnoputri). Kalau Puan disodorkan PDIP, saya tidak yakin partai-partai pendukung Jokowi bisa rela,” imbuhnya.

Lebih lanjut, situasi yang dihadapi Jokowi ini dikatakan Burhanuddin sangat kontras jika dibandingkan ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memilih pasangannya dalam Pilpres 2009. SBY yang saat itu berstatus sebagai petahana, memiliki keleluasaan dalam memilih pendampingnya lantaran memiliki tingkat elektabilitas dan kepercayaan yang sangat tinggi dari masyarakat.

Burhanuddin pun mengisahkan, pada Pilpres 2009 lalu, tingkat approval ratting yang dimiliki SBY masih di atas 80% dan tingkat elektabilitasnya pun mencapai 70 %.

“Jadi waktu itu sudah ada guyonan, sendal jepit pun kalau disandingkan dengan Pak SBY juga bakal menang. Jadi cawapres ini tidak jadi isu penting dalam 2009,” selorohnya.

Hal ini jauh berbeda dengan yang dialami Jokowi pada saat ini. Meskipun berbagai lembaga survei menyatakan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-JK masih di atas 60%, Burhan meyakini jika angka tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas Jokowi saat ini.

“Jadi ada gap antara 14-21%, mereka yang puas tapi enggak mau memilih (Jokowi). Artinya Pak Jokowi itu belum aman secara elektoral, dia tidak seleluasa pak SBY untuk memilih cawapres,” tutup Burhanuddin.
Pewarta : Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs